Semua berawal dari acara tv pagi tadi. Ditampilkan disana suasana ceremonial kelulusan sebuah sekolah tingkat sltp. Tentu saja suasana kelulusan dari orang-orang biasa tidaklah akan terlampau menarik, maka agar lebih punya rasa disorotlah oleh mereka suasana perayaan kelulusan para selebritis.
Salah satu selebritis yang disorot adalah gita gutawa. Anak komponis besar ini memang luar biasa. Dia merupakan peraih peringkat terbaik untuk nilai ujian akhir di sekolahnya al azhar. Sepintas lalu saya menilai anak ini, dia terkenal, penuh talenta, wajah rupawan, punya harta, dan tentunya pintar. Perfect……..
Lalu ingatanku melayang-layang pada suatu percakapan di sore hari dengan adik tertuaku. Dia ini adalah orang dengan tipikal rata-rata saja, tipikal orang-orang kebanyakan. Berasal dari keluarga sederhana saja (tentu saja sama denganku), tampang ngepas, tidak bisa juga dibilang punya talent yang luar biasa, ah.. pendek kata benar-benar tipikal orang biasa. Aku ingat betul, bagaimana dia itu berjuang, desperately struggling untuk meloloskan diri dari skala terendah nilai yang ditetapkan sebagai standar untuk lulus atau tidak lulusnya seseorang dari ujian nasional.
Kemudian dia hijrah ke bandung dari rumah kami yang sederhana di pojok kota bengkulu, bimbel di ganesha operation bandung, dan memulai kembali perjuangan berat menempuh lika-liku ujian masuk perguruan tinggi negri.
Suatu kali di ganesha operation, dia melihat seorang siswa yang datang menggunakan mobil BMW mewah, berdandan mantap luar biasa, mengalungkan handphone high tech di lehernya, sambil menenteng buku-buku tebal persiapan snm-ptn. Sepintas lalu adikku ini ternyata membatin sendiri, dia percaya sekali bahwa orang yang penuh dengan gaya dan penampilan seperti ini pastilah “kosong”, begitu pikirnya.
Tak seperti yang dikira, suara batin selintas itu runtuh ambruk suatu hari dalam sebuah percakapan dengan seorang teman yang memberitahukan kepadanya bahwa siswa yang dilihatnya tadi adalah siswa dengan otak terencer dikelasnya. Lagi-lagi Perfect!
Tidak habis-habis pertanyaan adikku dalam perenungannya itu, lewat matanya aku dengan lancang menerka-nerka “gerangan apa kiranya segala kelebihan itu tumpah ruah di salah seorang manusia??”
Selalu begitu……… Hal yang paling sering membuat kita merenung dalam-dalam adalah pencarian panjang akan diri kita sendiri. Monster terbesar yang kita hadapi dalam lelakon “seribu satu malam” versi kita masing-masing adalah nyata-nyata fikiran kita sendiri. Kita cemburu. Kalut. Bingung. Gamang. Cemas. Dan lain-lain rupa.
Lalu aku tersenyum simpul saja, bagaimana caranya membangkitkan semangat yang sayup-sayup tertidur, hanya dalam menit dalam detik, bisakah??
Kedewasaanlah yang kuharap-harap akan datang seiring waktu hidupku yang semakin lama semakin tua ini. Agar bisa menyemangati dengan sabar sesabar-sabarnya, biar kena sekena-kenanya.
Dek, Cuma kebanggaan untuk terus melayang-layang di atas karpet ujian demi ujian, untuk terus meloncat-loncat meniti kubah-kubah kesempatan, dan berpegang erat agar tidak tergelincir dalam resiko-resiko yang luar biasa curam itulah yang membuat kita masih berasa sebagai manusia, yang punya nyawa punya harga.
Rekapitulasi perjuangan kita adalah dinilai dari seberapa tegarnya kita untuk terus bertahan agar tetap muncul di setiap babak lakon “seribu satu malam” kita ini. Dan dari setiap akhir cerita yang datang entah dramatis entah tidak itu, kita lagi-lagi harus bersabar untuk tertakdir menjadi ksatria gagah jumawa atau juga pribumi biasa-biasa saja.