dua windu dulu kala

motor

sangat perkasa…………. ceritanya motor tua itu dalam dua windu usianya sampai masa SMA-ku dulu, belum pernah turun mesin.

itu memang sebuah teknik berkilah turun temurun. Tidak begitu jelas siapa yang memulai model pengalihan seperti itu. Misalnya ada handphone sudah renta sekali, pasti dibilang “ini handphone begini-begini tahan banting, jatuh berapa kali ga apa-apa, ga kaya handphone jaman sekarang”. Misalnya lagi ada motor tua pasti dielu-elukan “ini tua-tua bandel, ga pernah bongkar mesin sampai sekarang, suaranya aja masih halus”. Dan begitulah awalnya Bapak memuji-muji motor tua dirumah itu.

Aku sedikit kesal juga, buatku ya kalau barang sudah tua ya tua saja, tak usahlah dikasih embel-embel, tak usah banyak katabelece.

***
Rasa-rasanya itu merupakan sebuah ujian, persis ulangan umum setelah aku menamatkan dua caturwulan belajar matapelajaran percaya diri.

Pertama kalinya begini. Jaman dulu itu, ditengah ekonomi yang morat-marit, memiliki kendaraan pribadi adalah semacam ide besar. Semacam cita-cita luhur yang belum kesampaian. Kalau tidak salah kan dulu sekali baginda nabi pernah sekali berpesan kepada kita: bahwa beberapa hal yang merupakan sumber kebahagiaan dunia itu adalah istri yang sholehah, rumah yang lapang, dan kendaraan yang baik yang bisa mengantarkan kita kemana kita hendak bepergian.

Tentu saja sub-bab istri yang sholehah itu urusan Bapakku, manalah mungkin aku ikut-ikutan membahas tema itu sedang aku masih SMA kelas dua baru mau naik kelas tiga. Aku percaya sekali ibuku adalah tipe wanita penyabar yang masih bisa bertahan dan berjuang dengan segala keminusan dalam hitung-hitungan aljabar ekonomi rumahku, dan aku percaya itu salah satu bentuk ke-sholehah-an juga, rekan-rekan. Jadi sekarang tinggal rumah yang lapang, dan kendaraan yang baik.

Rumah yang lapang adalah lebih rumit lagi pengejawantahannya. Maka atas analisa taktis dan mempertimbangkan latar belakang macam-macam maka diputuskan dengan seksama bahwa memiliki kendaraan adalah berada dalam quadrant sangat penting sangat mendesak. Jadi harus sesegera mungkin diwujudkan.

Itulah awal mula petaka, ujian berat dalam kehidupan pemuda tanggung seusiaku.

Waktu pulang sekolah di suatu sore yang masih sedikit menyala panasnya, sambil jalan terburu-buru dipacu lambung yang mengkerut dan beresonansi apik dengan udara, aku berjalan setengah berlari dari gang depan sampai ke ujung komplek. Lalu berhenti tertahan di depan pintu rumah waktu tertumbuk mataku melihat Bapak me-ngegas motor tua.

“Ini motor dua tak dengan oli samping” dimulailah retorika Bapak. Geli aku melihat motor itu. Ini adalah semacam reaksi natural saja dariku, tertawa setengah tertahan. Plat motor itu warnanya merah, bekas motor dinas yang sudah dilelang dan sekarang jadi milik pribadi tapi belum diganti platnya. Joknya sudah bergoyang goyang dinamis. Lampunya bersahaja, dengan kabel yang mencuat kemana-mana, tak ada itu saklar lampu jarak jauh jarak dekat. Pokoknya memprihatinkan. Satu-satunya yang “sangar”dari motor tua itu adalah suaranya. Knalpot motor memang boleh reteng dimana-mana, tapi suaranya itu kawan, mendehem seperti motor gede. Ngeri sekali.

Aku antara senang hati, antara mengelus dada. Ini ujian kesufian tingkat tinggi, dalam bahasan spirituil bernama syukur nikmat. Mengingat-ingat setiap ingin bepergian sekarang jadi lebih mudah, tak perlu menunggu angkutan kota, tinggal engkol pedalnya, dengarkan deheman berat dari knalpot motor tua, lalu kabur.

Tapi mengingat-ingat setiap kali aku meminta uang pada ibu untuk kegiatan ini itu, maka ibu akan dengan cekatan menolak, aku jadi ngedumel-ngedumel juga. Salah satu fungsi dengan hadirnya motor adalah mengatur keuangan, yang artinya adalah meningkatkan taraf hidup, yang berarti juga adalah dalam rangka niatan mulia meningkatkan taraf hidup maka semua elemen keluarga harus berperan! dan aku sebagai anak tertua memainkan peranan penting itu dengan merelakan diri untuk menggunakan motor bandel bukan main itu untuk pergi ke sekolah setiap kali aku ada kegiatan ini kegiatan itu.

Bahasan nomor dua dari ujian kesufian dimulai. Tema spirituil kali ini adalah tidak rendah diri. BREEEEMMMMMM. Membaca bismillah beberapa kali. Lalu di suatu sore yang anginnya semilir-semilir aku memutar gas dengan pelan. Motor tua maju menyentak-nyentak. Aku pasang tampang siaga. “jangan lupa kasih oli campur” bapak teriak dari dalam rumah.

Alamak…….. berat hati rasanya menggelindingkan roda motor tua ini ke sekolah. Manalah pula nanti harus kulewati deretan orang yang kongkow-kongkow di lapangan. Dengan motor canggih berkilau-kilau, dandanan necis tak usah disangsikan lagi, lalu psikologisku memacu detak jantung jadi jedat-jedut, “psikosomatis” kata para pakar psikologis, maka aku tiba-tiba serasa meriang dan sendi-sendi mau lepas dari tempatnya.

Di perjalanan aku berfikir dan menarik nafas dalam. Lalu meyakinkan diri sendiri bahwa keberanian untuk tampil apa adanya adalah suatu bentuk kebesaran jiwa. Sebentuk kematangan mental. Dimana dalam situasi yang serba mengandalkan penampilan luar dan topeng topeng seperti jaman sekarang ini, aku bisa tampil dengan tidak terikat dengan penilaian orang akan status. Wah…………. Tiba-tiba hatiku meloncat-loncat, dalam hati aku mengira-ngira bahwa aku ini luar biasa sekali rupanya. Lalu aku mengalami semacam sensasi merasa keren sendiri. Maka gas motor kupacu lagi sambil bersiul-siul, mungkin salah satu ciri orang yang berjiwa besar adalah menghadapi tantangan hidup dengan bersiul-siul, rasa-rasanya aku siap menghadapi teror mental macam apa juga. Knalpot tua berdehem dehem, motor melaju kencang.

Sampai di gerbang sekolah tiba-tiba aku gemetaran lagi. Persis orang mau lomba pidato. Rasanya demam panggung. Kupelankan gas motor itu waktu melewati lapangan basket riuh rendah. Tapi memang motor tua dimana-mana sama, kalau bukan empunya yang menanganinya pasti ada-ada saja masalahnya, dan sialnya dalam hal ini empunya bukan aku, tapi bapakku. Gas boleh kecil sodara-sodara, tapi suara tetap besar. Alhasil aku gagal total menyamarkan kedatanganku seperti ninja, kawan-kawan melirik dan aku salah tingkah….. sedikit…… oke-oke, agak banyak sedikit.

Motor berhenti, aku panas dingin berkeringat. Sebagai satu-satunya yang tunggangannya seusia dua windu dulu kala, maka aku berjalan cepat menuju ruang kelas. Sambil membatin aku membesarkan hati. Bahwa orang-orang yang petantang-petenteng dengan motor bagus itu adalah orang yang menipu dirinya sendiri. Orang yang berlindung dibalik topeng, bagaimana image bisa dibangun dengan harta? Aku mengangguk-angguk seperti yang sudah matang dalam kepribadian.

Para pakar qalbu –akhir-akhir ini baru aku sadar- mengatakan bahwa kelakuanku dulu itu adalah sebentuk penyakit, bangga diri alias ujub. Lebih terselubung dari berkarya karna pamrih-pamrih, lebih berbahaya dibanding petantang-petenteng pede dengan motor bagus-bagus, misalnya. Maka dalam ujian motortua aku mengira sukses menyilang pilihan ganda soal-soal anti minder tapi rupa-rupanya terjebaklah aku dalam jebakan yang lain. Motor ini rupanya lebih rumit dari yang kubayangkan.

Acara selesai, aku bergegas pulang, hari sudah malam dan aku bisa sedikit santai. Model penyamaran bisa kita terapkan pada situasi kurang cahaya. Pertama, detail reyot-reyot motor ini niscaya agak susah diindera waktu malam gelap gulita. Kedua, orang juga susah mengetahui bahwa aku pengendaranya dibalik stang honda tua itu. Rupanya penyakit minder masih ada juga sisa-sisanya. Aku meluncur pulang, sekalian bertandang kerumah seorang teman untuk ngobrol sana-sini.

Malam bergulir. Dari rumah teman aku hendak pulang ke-rumah. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Sepenuh hati kukerahkan semua tenaga ke kakiku mengengkol pedal motor itu tapi tak hidup-hidup. BREEEEMMM.. gagal. BREEEEEEEM….. gagal. Aku putus asa, setengah hilang harapan aku minta tolong pada temanku tadi untuk mengeluarkan tali tambang dan menarik itu motor menempuh belasan kilometer jarak menuju rumahku, dimalam dingin sesudah isya, waktu penerangan Cuma dari lampu jalan redup-redup. Sepanjang jalan aku mengomel. Menyiksa diri dengan berangan-angan coba kalau begini coba kalau begitu.

sesampai di rumah aku diam cemberut. Sungguh lucu. Persepsiku tentang kematangan jiwa tadi ternyata ambruk berantakan. Lalu aku protes kepada Bapak tentang kondisi motor yang penuh problema itu. Aku kritik semua-muanya, ya stangnya, ya lampunya, ya knalpotnya ya pedalnya, ya ga bisa hidupnya.

Terus Bapak jongkok kebawah mesin, ngutak-atik busi kurang dari dua menit terus mengengkol pelan BREEEEMMMMM….. dan motor menyala. Aku bengong. Lalu bapak beretorika lagi.

Aaarrrggggghhhhhh…….. rasanya untuk ujian spiritual yang caturwulan ini aku HER saja

(images minjem dari google)

4 pemikiran pada “dua windu dulu kala

Tinggalkan Balasan ke rio benny arya marantika Batalkan balasan