BINGKAI KERIDHOAN

bingkai keridhoan

Suatu ketika saya pernah berkonflik dengan seseorang. Bukan konflik besar, tapi menimbulkan ketidaknyamanan di hati. Dalam hari-hari yang tidak nyaman itulah saya sering berdoa. Di dalam doa saya seperti curhat kepada Tuhan, lalu setelah berdoa sepertinya hati ini sedikit lega. Saya merasakan Tuhan berpihak kepada saya.

Bertahun kemudian, di dalam perenungan saya, saya baru menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dalam sikap batin saya kala berdoa waktu lalu itu. Samar sekali memang, tapi saya belakangan kaget juga, bahwa ternyata di dalam doa-doa saya kala berselisih paham itu, rupanya tanpa sadar saya mendoakan keburukan bagi orang lain.

Ada kalanya doa itu tidak vulgar berupa permohonan keburukan, tapi lebih rapih terbungkus dalam keinginan hati akan pembuktian bahwa diri pribadi saya dalam tataran tertentu lebih unggul daripada orang yang saya selisihi. “Duh Tuhan…tolong suatu waktu nanti ditunjukkan pada dia bahwa saya ini lebih baik daripada dia.” Begitu doa saya kurang lebih.

Di kali yang lain saya berdoa juga, doa yang redaksinya agak berbeda, tapi rintihan curhat saya itu bisa diartikan mengusung sebuah tema besar pengaduan kepada Tuhan akan keburukan seseorang, yang rasa-rasanya kalau ditarik dengan jujur benang merahnya, sepertinya saya merasa dalam tataran tertentu saya adalah pribadi yang lebih layak untuk dekat kepada Tuhan. Dan orang yang berseberangan dengan saya waktu itu, adalah seorang yang rasanya tidak dikasihi Tuhan. Ini berbahaya sekali. Saya kaget sekali waktu tersadar tentang fikiran itu. Saya merasa betapa picik logika saya.

Kata para guru, Memang dalam waktu-waktu tertentu doa bisa merupa keras. Sebagaimana contoh doanya Nabi Nuh. Saya mendengar sebuah cerita masyhur nabi Nuh. Enam ratus tahun beliau mengajak umat menuju kebaikan, tapi hanya beroleh dua belas orang pengikut. Itu pun anak beliau sendiri tidak termasuk. Lalu di dalam segala keletihan itu, beliau berdoa agar orang-orang yang ingkar itu diazab saja oleh Tuhan. Nyatanya memang kaum Nuh tenggelam oleh banjir besar. Itu memang mendoakan keburukan, tapi level kepayahan yang didaki untuk sampai kepada sebuah doa itu, jauuuuuh berbeda dengan segala ketergesaan kita. Dan dalam doa beliau, tidak sedikitpun kebencian pribadi masuk, tapi lebih semacam kekecewaan yang jernih bahwa betapa orang-orang itu kok segitu-gitunya kepada Tuhan.

Serupa tapi tak sama, adalah doa Musa, agar Qarun si tamak harta ditenggelamkan saja ke perut bumi. Maka masyhurlah cerita harta karun.

Yang lebih mengagumkan dari semuanya ialah doa Sang Rasul Muhammad kala dilempari batu oleh penduduk thaif, sampai kepalanya berdarah-darah. Waktu itu pengabulan doa apapun saja yang beliau ingin mintakan adalah sebuah kepastian, tapi malah beliau mendoakan kebaikan bagi kaum yang belum sadar itu.

Kesadaran hati mereka, saat mendoakan seperti itu, berada pada level yang jauh dari picik. Saya menyadari betapa panjang rentang kemurnian hati antara kita dan orang-orang suci itu.

Risalah mereka jelas, garis perjuangan mereka lurus, dan keberpihakan Tuhan terhadap mereka pasti. Sedang saya? Salah-salah doa nanti berbalik memakan saya sendiri. Saya kapok berdoa dengan sebuah sikap seperti sedang dizolimi. Malu rasanya.

Saya sekarang belajar sedikit-sedikit untuk berdoa dalam bingkai ridho. “Ya Tuhan….hamba ridho Engkau sebagai Tuhanku”. Takdir yang dihadapi sekarang ini hamba ridho. Bahwa untuk lepas dari kesusahan yang dialami sekarang ini hamba harus berusaha begini-begini, hamba juga ridho.

Jadi berawal dari menerima takdir Tuhan, lalu beranjak menuju takdir lebih baik lewat takdir Tuhan pula, dan semuanya dalam bingkai keridhoan sehingga jelas pemisahnya antara doa dan dumelan. Itu yang saya catat dari pengalaman waktu lalu.

Jadi ceritanya Malam-malam waktu berapa minggu lalu hujan sangat lebatnya. Saya sedang terasing di sebuah wilayah pemboran gas bumi di pedalaman Kalimantan Tengah, di pinggiran anak sungai barito. Malam itu malam terakhir saya bertugas di sana, paginya harusnya saya terjadwal pulang kembali ke Jakarta. Tapi hujan deras membuat saya was-was. Saya lalu berfikir bahwa bisa saja kepulangan saya ke Jakarta tertunda. Berapa hari sebelumnya seorang kawan tertunda seminggu kepulangannya ke Jakarta sebab kabut tebal melanda Bandar udara kecil di Barito Utara, pesawat capung tak bisa terbang, terpaksalah dia kembali ditarik ke lokasi pengeboran untuk waktu seminggu lagi.

Segala bayangan itu membuat saya was-was. Saya sudah dua minggu bekerja di sana, dan dalam segala keletihan kerja, juga bayangan nyamannya istirahat kembali di rumah, saya rupanya belum siap dengan kenyataan tempat terpencil itu sangat tidak menjanjikan cuaca yang stabil.

Saya berzikir, bersholawat di malam itu. Saya dengar kata para guru yang bijak, sholawat bisa meleraikan masalah. Maka saya bersholawat banyak sekali malam itu. Tujuan saya satu saja cuma, supaya hujan berhenti dan pagi harinya saya bisa pulang. Sederhana sekali.

Tapi apa mau dikata hujan tambah lebat tak karuan. Saya semakin khawatir, tapi tetap menyenandungkan sholawat dalam hati, sambil sekali-kali melirik keluar unit tempat saya bekerja dan menjadi semakin mencelos karna hujan tidak reda juga.

Tapi rupanya Tuhan masih mendengar. Memang semalaman hujan tak reda, tapi tepat pagi harinya matahari garang. Kita diperbolehkan pulang meskipun mobil ranger 4WD harus nabrak-nabrak pinggiran tebing tanah liat akibat jalanan licin dan hancur oleh hujan semalaman.

Dalam perjalanan itulah saya tetap menggumamkan sholawat, saya cemas juga menaiki mobil dengan ala off road dan berapa kali menabrak tebing, tapi kemudian pula saya menyadari satu hal. Betapa susah rasanya untuk berdamai dengan takdir.

Saya bersholawat sepanjang malam dan pagi, tapi rasanya dalam totalitas penyerahan diri, saya tidak seujung kuku Nabi. Baru diberikan hujan satu malam, saya sudah ketar-ketir. Sedangkan Nabi kita dilimpas berbagai-bagai kesulitan tapi hatinya tetap tidak merutuk takdir Tuhan. Nrimo.

Saya lalu teringat sikap batin saya selama ini, saat menerima takdir. Takdir apa saja. Takdir masalah, baik masalah itu dengan alam, atau dengan orang lain, saya selalu berdoa dalam sebuah kesadaran bahwa saya sedang dizolimi. Entah dizolimi siapa. Saya meminta Tuhan untuk menunjukkan pada orang yang saya selisihi bahwa saya lebih baik, di kali lain saya meminta Tuhan untuk menimpakan pada orang itu keburukan, meski kecil levelnya. Saya meminta Tuhan untuk menghentikan hujan. Di kali lain saya meminta Tuhan untuk menurunkan hujan. Macam-macamlah permintaan saya itu. Intinya lebih seperti merutuk dengan tangan tengadah.

Dalam perenungan saya, dulu saya sempat mengira apa ya kita itu harus selalu menerima saja semua takdir Tuhan? Apa begitu maksud ridho itu? Sempat juga saya cemas tiap kali ingin beranjak menuju takdir yang lebih baik, jangan-jangan saya tidak ridho?

Lalu kemudian satu hal yang saya sadari bahwa bukan tidak boleh meminta perubahan terhadap yang kita alami. Tapi yang saya harus saya sesalkan adalah dalam meminta rupanya saya tidak memiliki kesadaran bahwa Tuhan tidak sedang zolim kepada saya. Dalam meminta, saya tidak memiliki mentalitas ridho kepada takdir yang saya terima saat itu.

Jadi meminta-nya saya itu bukan sebuah kepasrahan, bukan minta tolong yang sangat, bukan rintihan pengakuan kelemahan diri, tapi merutuk-rutuk. Samar sekali tapi baru kelihatan sekarang ini.

Padahal, sang Nabi, Rasul junjungan yang saya sholawati itu adalah orang yang juga berdoa, juga melangkah dari sebuah takdir menuju takdir yang lebih baik, tapi dalam tiap-tiap usaha dan doa, segenap kesadaran penghambaan beliau adalah bahwa Allah tidaklah sedang zolim kepada beliau. Bahwa takdir yang dijalani sekarang bukan semacam siksaan, sama sekali bukan, melainkan sebuah sarana, wasilah bagi Tuhan untuk menunjukkan betapa kita manusia ini butuh sekali pertolongan Tuhan. Jadi dalam segala “babak belurnya” Beliau; usaha ya tetap dilakoni sebagai ikhtiar menuju takdir Tuhan yang lebih baik, dan berdoa dikhusyui, tapi semuanya dalam mentalitas baik sangka kepada Tuhan. Itu bedanya.

Saya sudah ingat-ingat akan menulis ini, waktu saya masih terapung di atas awan dalam sebuah pesawat capung mini dari Barito Utara. Bahwa ridho adalah tema sentral dari segalanya.

*) kali ini gambarnya bukan minjem dari google, tapi arsip pribadi 🙂

5 pemikiran pada “BINGKAI KERIDHOAN

Tinggalkan Balasan ke debuterbang Batalkan balasan