GREGET PERSANDARAN

persandaran dua

Kemarahan kuli-kuli panggul alat-alat pengeboran itu sudah memuncak, tapi untungnya saya dan seorang rekan diselamatkan oleh seorang Bapak yang begitu santun dan penyabarnya. Beliau adalah wakil dari penanggung jawab pengeboran itu.

Pasalnya, saya dan seorang rekan bertugas merintis jalan menuju camp, dengan bermodal GPS. Tapi GPS tak berkutik dalam hutan hujan tropis yang lebat, sering tak ada sinyal, dan walhasil setelah berjam-jam berputar putar, kami kembali ke tempat semula. Letih sekali tentu, tapi para kuli panggul itu lebih letih lagi, karena mereka membawa segudang perkakas dari besi, dan hampir saja kami dilabrak jika tidak seorang Bapak tadi menyelamatkan kami dengan retorikanya yang halus menenangkan para kuli panggul.

Sekarang, setelah bekerja pada dunia yang sedikit berbeda, pengeboran migas, setiap kali saya bertemu dengan seorang pimpinan yang bisa tetap tenang dan santun dalam kekalutan saya pasti teringat beliau. Resepnya sederhana saja rupanya, beliau selalu memandang ada Tuhan dibalik setiap kejadian. Bahwa sechaos apapun tampaknya sebuah peristiwa, tidaklah seperti sapi liar yang mengamuk tanpa kendali. Tetap dibawah pengawasan Tuhan, ada campur tangan Allah pada segalanya. Itu yang membuat beliau tetap kukuh dan stabil dalam kemelut.

Saya mengerti logika itu secara keilmuan, ‘ada tangan Tuhan dalam setiap kejadian’. Tetapi betapa sulit menjadikan logika keilmuan itu mewujud dalam karakter pribadi saya.

setiap menghadapi kekalutan saya ikut kalut juga. Saya tidak pernah setenang beliau itu. Tidak pernah. Meski secara teoritis saya tetap ingat bahwa Tuhan berkecimpung dalam segala apa yang terjadi.

Lama saya merenungkan kenapa saya susah menyandarkan segala sesuatu kepada Tuhan? Sampai tiba-tiba saya tersadar bahwa hijab penghalang tebal itu rupanya bernama ilmu.

Ada sebuah ilustrasi yang mudah-mudahan mewakili. Jaman dahulu, jaman dimana keilmuan masih terbatas, seandainya ada orang yang sakit maka orang-orang akan berdoa kepada para dewa. Merapal mantra dan ritus-ritus lainnya.  Kadang-kadang sembuh, kadang-kadang tidak.

Setelah zaman semakin maju, dan kita bersentuhan dengan nilai-nilai kehidupan yang lebih islami, kita tahu bahwa konsepsi mereka tentang dewa-dewa dan Tuhan yang banyak adalah tidak tepat menurut kita. Dan di sisi lainnya, science mengungkap sesuatu yang tersembunyi bahwa penyakit demam katakanlah, sebenarnya hal yang lumrah dan bisa dihilangkan dengan paracetamol, bukan dengan mantra.

Kita maju pada satu level keberadaban yang lebih tinggi. Kita menjadi paham sebab-akibat dengan bantuan science, dan pada sisi lain keilmuan keagamaan membenarkan konsep tentang keTuhanan dari yang primitif menjadi lebih ‘langit’, samawi.

Tetapi ada yang rupanya kita tinggalkan. Semakin mengerti kita dengan logika sebab-akibat dalam kehidupan ini, semakin ‘greget’ persandaran kita kepada Tuhan itu berkurang.

Jaman dulu, saat orang-orang tidak pernah berfikir bahwa manusia akan bisa terbang, mungkin mereka berfikir bahwa hanya Tuhanlah yang bisa membuat keajaiban orang bisa terbang.

Kini? Setelah pesawat bertebaran dimana-mana, kita menjadi paham bahwa logika hukum alamnya rupanya berkaitan dengan daya angkat, perbedaan tekanan, dan lain-lain yang pada satu sisi mencerdaskan kita selangkah lebih maju, tapi pada sisi lain ‘greget’ bahwa tetap Tuhan yang mengangkat dan melambungkan pesawat itu; menjadi kurang.

Ini ironi yang menyedihkan. Setiap kali kita terbentur dengan suatu masalah dalam hidup kita, maka secara otomatis persandaran kita adalah kepada otak kita yang mencari-cari bagaimana logika sebab-akibat yang akan menyelamatkan kita?

Kita sakit langsung bersandar pada sebab-akibat yang kita paham, jika sakit persandaran kita adalah minum panadol mungkin. Jika galau yang teringat pertama adalah teman tempat curhat atau mungkin ke bioskop. Jika ingin membeli rumah, maka KPR yang terbersit pertama. Tidak ada Tuhan disana.

Karena kita sudah mengerti bagaimana Tuhan “memainkan” hukum alamNya. Kita menjadi pintar, kita mencari akar penyelesaian perkara pada kemampuan kita memahami logika sebab-akibat. Tapi kita salah secara tata krama terhadap Tuhan.

Bagaimana kalau di kemudian hari kita menjadi sangat yakin bahwa kemestian sebab-akibat itulah yang menyelamatkan kita? Penyembuh kita adalah obat sakit kepala, yang menerbangkan kita adalah daya angkat pesawat, yang membuat bumi gempa adalah tumbukan lempeng?

Bahkan pada para pegiat spiritualitas yang rajin berdoa dan tafakur pun pada akhirnya paham sebuah sebab-akibat yang lebih musykil lagi. Bahwa doa kita terkabul bisa saja merupakan pancaran vibrasi gelombang otak yang kait mengait dengan kejadian di alam semesta dan menarik hal yang serupa dengan apa yang kita fikirkan. Bahwa ternyata segala sesuatu di dunia ini masuk akal. Dan disinilah ironi itu, semakin masuk akal sesuatu itu, semakin “greget” persandaran kita pada Tuhan; hilang.

Tentu kita bisa berdalih bahwa “tidak kok, ada Tuhan dibalik sesuatu”. Tapi setiap kali saya berdalih semacam itu, ada sudut lain diri saya yang mengaku dengan jujur, bahwa tidak ada “greget” dalam apa yang saya katakan. Saya sudah terlampau percaya kepada sebab-akibat.

Ironi ini harus kita pangkas sekarang juga. Sebelum kita tumbuh menjadi seorang yang beragama dalam keberagamaan yang begitu formal dengan segala tata aturannya, tapi tak punya sandaran kepada Tuhan. Kata orang arif, kita ini beragama tapi tidak bertuhan.

Seorang guru mengatakan, cara memangkasnya adalah dengan segera mengembalikan segala permasalahan dalam kehidupan kita, atau kebutuhan yang mendera kita; kepada Tuhan. Saat pertama kali kita menghadapi hal itu.

Kita sakit, langsunglah berdoa kepada Tuhan, dengan doa yang pelan dan merendah, sampai kita yakin bahwa dialah yang kuasa menyembuhkan kita. Lalu kita membeli obat.

Kita terbentur masalah keuangan, mengadulah pada setiap sujud yang tuma’ninah. Berdoalah bahwa betapa Dia maha kaya, betapa kita fakir, betapa tidak ada yang bisa menyelamatkan kita dari kesempitan ini selain Dia. Lalu setelah tambatan hati kita benar maka bergeraklah.

Apa saja. Apa saja yang menjadi kebutuhan hidup kita, masalah kita, berusahalah menegur diri kita agar yang pertama kali terbetik di hati adalah meminta tolong kepada Tuhan. Lalu setelah itu baru kita bergerak sambil menjaga persandaran yang benar itu.

Perkara nanti penyelesaiannya bagaimana, itu lain soal. Tidak harus keajaiban terjadi lalu serta merta masalah kelar. Bisa jadi kita tetap harus meminjam KPR, bisa jadi harus minum paracetamol dulu sekian hari baru demam reda. Tapi pandangan kita setidaknya lebih jauh dari sekedar tertumbuk pada logika sebab-akibat semata-mata.

Dalam gerak yang dibingkai nuansa minta tolong kepada Tuhan inilah, maka segala sebab-akibat ataupun keilmuan apa saja tidak akan menjadi hijab bagi kita. Sehingga mudah-mudahan jelas, bahwa ‘sebab’ itu adalah sesuatu yang diadakan oleh Allah, begitupun juga ‘akibat’ adalah sesuatu yang dijadikan ada oleh Allah.

Bahwa akibat itu lahir setelah sebab, karena memang Allah membuatnya begitu. Tidak berarti sebab dan akibat memiliki keterkaitan yang mutlak. Dan tidak berarti bahwa sebablah yang membuat akibat menjadi ada.

Seperti misalnya kita terbang pada sebuah pesawat, sesungguhnya Allah yang menggerakkan angin dan seketika setelah angin dibuat berbeda tekanannya maka Allah pula yang mengangkat pesawat itu ke atas.

Ada Dia dibalik segalanya. Bahkan dibalik sebab-akibat apapun yang telah kita pahami dengan ilmu-ilmu kita.

———
*) saya pinjem gambar ilustrasi dari sini

5 pemikiran pada “GREGET PERSANDARAN

  1. Ah, kang.. 😀
    Bahkan put sering berpikir, jikalau Allah inginkan maka Allah akan mncabut smua ilmu yang telah Dia titipkan atas diri. Semua kekuatan yang telah Dia berikan prihal usaha dan ikhtiar. Agar kita ingat bahwa Dia lah sgala penentu kejadian. Semoga Allah selalu membersamai kita, dan semoga kita selalu mendekati dan melekati diri padaNya…

    • Benar put, orang-orang arif bilang, kadang-kadang hijab yang paling tebal adalah ilmu itu sendiri. (Bahkan meskipun itu ilmu agama). Karena tidak selalu berarti bahwa makin banyak menguasai perbendaharaan wacana keagamaan = makin bertuhan. Wallahu’alam.

  2. subhanallah kang tulisan nya. Muhasaboh diri buat kita semua. Allah SWT sayang kepada manusia yang selalu mencari cara mendekatkan dan mengingat -Nya.

    keep muhasaboh kang.

Tinggalkan Balasan ke debuterbang Batalkan balasan