Nabi Idris AS dibukakan oleh Allah SWT padanya ilmu perbintangan. Dengan ilmu membaca bintang itu Beliau menentukan arah, membaca waktu yang tepat untuk bercocok tanam, dan memperkirakan cuaca.
Seiring waktu, pemahaman ketauhidan manusia terkikis. Mereka malah menganggap bintang-bintang sebagai sebuah entitas yang memiliki kuasa terhadap manusia. Sehingga beratus tahun kemudian pada zaman Nabi Ibrahim AS kita tengok orang-orang menyembah bintang-bintang dan benda langit, mereka membuat berhala dan menjadikan nama-nama bintang sebagai nama-nama berhala itu. Dewa matahari, dewa rembulan.
Selepas itu, kehidupan manusia terbelah menjadi dua:
Pertama yaitu orang-orang yang menganggap Tuhan adalah sesuatu yang mengambil wujud dalam bentuk fisik dan entitas tersendiri seperti dewa-dewa, atau berhala-berhala yang mereka namakan dengan nama-nama yang diambil dari nama-nama bintang, atau nama-nama lain-lain makhluk. Kita kenal mereka dengan sebutan polytheist.
Kedua adalah orang-orang yang meyakini bahwa pastilah ada sebuah realitas tunggal yang menzahirkan segalanya ini. Sesuatu yang tak serupa apapun saja, sesuatu yang tak bisa dijangkau, dan DIA tidaklah mungkin begitu kecil dan terbatas seperti mana makhluknya. Kita kenal mereka dengan sebutan orang-orang yang lurus atau hanif.
Bapak orang-orang hanif ini adalah Ibrahim AS, yang kembali memperbaiki pahaman keliru tentang Tuhan.
Dan Ibrahim menolak kesimpulan bahwa bintang dan atau benda langit lainnya -yang awalnya adalah dari ilmu yang disingkapkan pada IdrisAS- sebagai Tuhan.
Ibrahim pula menolak berhala-berhala yang mewakili kekuatan bintang-bintang itu, sebagai Tuhan.
Pada masa Rasulullah, pun kita kenal masih tersisa orang-orang dengan pemahaman keagamaan yang hanif.
Sisa-sisa kepahaman itu masih ada. Mereka mengenal sebuah realitas tunggal yang tak serupa dan seumpama itu dengan sebutan Allah. Sang pencipta langit dan bumi.
Akan tetapi, sebagaimana yang kita tahu, Allah adalah nama bagi Dzat. Orang-orang mengenal nama itu tetapi tidak mengenal akan sifat-sifatnya.
Kebiasaan orang-orang Makkah kala itu dalam menuliskan nama Allah pada surat-surat atau bila melafazkan doa adalah dengan lafadz “Bismika Allahumma”, dengan namamu ya Allah.
Lafadz Bismillahirrahmanirrahim dikenalkan kembali oleh Rasulullah kepada mereka.
Kepada orang-orang yang begitu rusak dan ada dalam kegelapan itu Allah mengajarkan manifestasi namanya Rahman dan Rahim yang dikedepankan. Sebab mereka keliru mensifati Tuhan, sebagai sebuah entitas yang jauh dan penyiksa.
Dan saya kira, begitu juga wahyu pertama yang diajarkan yaitu IQRA, bukanlah menyuruh membaca perkamen gulungan, melainkan membaca kehidupan ini sebagai manifestasi namaNya.
sebagai cara Dia memperkenalkan diri lewat penzahiran sifatNya, yang dia rangkum dalam Asmaul Husna (Ismi Robbi).
Segala kejadian hidup adalah manifestasi sifatNya. Orang-orang akan mengenal Dia yang satu dan tak serupa apapun, lewat pembacaan akan sifat-sifatnya yang tergelar di alam.
IQRO BI ISMI ROBBI
Bacalah, dengan nama Rabb-mu yang menciptakan