PAGAR PENJAGA

Pengenalan akan Dia, selalulah dimulai lewat “HAL spiritual” berupa dorongan di dalam hati: yang menjadi demikian takut, atau demikian cinta mengharu biru.

Suasana di dalam hati ini, tak bisa dibuat-buat. Ianya “given” dimasukkan oleh Allah, sebagai pendorong, sebagai jalan kepahaman, dan sebagai penggerak amaliyah.

Karena pengenalan kepada Allah dimulakan dari dorongan tersebut, maka mematikan langkah orang-orang yang ingin kembali ke Allah dengan ucapan “kalau ada maunya aja baru mau ibadah!” Adalah keliru.

Karena, sebagian cara Allah mengenalkan diriNya adalah menanamkan rasa “butuh” kepada hambaNya.

Orang yang gelisah, bingung, takut, berarti berada pada gerbang jalan pulang. Bukan orang yang dimurkai.

Rasa butuh ini menjadi semacam pagar, yang menjaga agar hamba selalu berada pada jalur “kembali”.

Sebegitu juga rasa takut, dan rasa cinta. Juga dimasukkan ke hati hamba, juga semisal “pagar” yang menjaga agar hamba tetap di dalam jalur kembali.

Karena fungsi “pagar” sebagai penjaga, maka adalah masuk akal untuk meminta agar pagar dilanggengkan oleh Allah.

Semisal doa Rasulullah agar selalu hidup, mati dalam keadaan miskin, dan dikumpulkan dalam golongan orang-orang miskin.

Miskin adalah majazi, dari makna “rasa butuh dan fakir di hadapan Allah.” Rasulullah meminta dilanggengkan untuk selalu dalam rasa butuh kepada Allah.

Rasa butuh dan takut, terus menerus tak akan bisa diterima wadah sang hamba. Maka Allah menanamkan pula keping satunya lagi yaitu rasa harap dan cinta.

Ibnu Qayyim mengatakan, kehambaan ditopang dua sayap itu, khauf dan roja, takut dan harap. Dua-duanya pagar penjaga agar sang hamba tetap berada di jalur kembali.

Sebagaimana kata “Rabb” yang merangkum makna penguasa, pengatur, makna-makna JalalNYA, maka Rabb selalulah lekat pada dorongan spiritual takut dan cemas, misalnya Robbana Dzolamna anfussana

Dan  “Ilahi”, itu keping satunya lagi, Ilahi Anta Maqsudi.

Yang pokok adalah, kalau kita tengok, kehidupan kita pasti tak akan lari dari dua pagar ini.

Sekali waktu tema hidup kita pasti ada yang tentang takut dan gelisah, terbanting-banting. Tapi sekali waktu ada juga yang berselindung harapan besar padaNya.

Artinya, sebenarnya jalan kembali itu adalah takdir kita masing-masing ini, asalkan menjadikan setiap potongan takdir sebagai alasan pulang.

Entah berlindung dari takut padaNya, atau berharap pada pertolonganNya, yang jelas setiap kejadian menghantarkan kembali.

Tinggalkan komentar