MIND OVER FEELINGS

open-mindedPernah mendengar istilah “mind over feelings?” Cara kita berfikir, persepsi kita terhadap sesuatu sangat mempengaruhi perasaan kita.

Contoh sangat sederhana mungkin dari kejadian yang saya alami, dan rekan-rekan juga pernah alami. Saat anak kita mengganggu kita yang sedang konsen bekerja, maka kita akan menjadi kehilangan mood bekerja. Kondisi emosional kita bisa berbagai macam, bisa kesal, bisa marah, bisa biasa saja.

Dalam kasus diatas, suatu kali saya kesal pada anak saya yang mengganggu saya saat mengerjakan sebuah tugas kantor, jadi saya tidak bisa konsentrasi. Belakangan saya baru mengerti kekeliruan saya adalah karena persepsi saya bahwa anak saya “mengganggu” saya.

Padahal, untuk anak kecil usia 4-5 tahun, sebuah makna “mengganggu” itu belum ada dalam benak mereka, tingkah mengganggu itu sekedar wujud dari ekspresi ingin bermain, barangkali karena sedang bosan.

Dan menariknya, setelah mengetahui suatu kesalahan dalam persepsi berfikir saya itu, maka feeling atau perasaan saya terhadap “gangguan” anak saya tidak lagi sama. Kekesalan menjadi hilang, karena cara pandang yang berubah.

Itulah “mind over feelings.” Cara pandang terhadap sesuatu sangat mempengaruhi apa yang kita rasakan.

Saya tertarik menuliskan ini, karena menemukan simpul yang berjejalin antara fakta ini dan petuah para arifin.

Tapi sebelum itu, saya ingin melanjutkan bagaimana sebuah konsep “mind over feelings” ini dijadikan sebuah pelarian secara psikologis, dari sebuah kondisi yang tidak nyaman. Misalnya begini…

Saat seseorang sedang mendapatkan sebuah masalah, dan masalah tersebut membuat dirinya merasa gelisah dan tidak nyaman, maka orang tersebut mengalihkan fikirannya dengan membayangkan hal-hal yang bisa membahagiakan dirinya. Misalnya dia mengingat-ingat masa lalu yang bahagia. Atau dengan sengaja pergi ke tempat-tempat yang bisa mengalihkan fikirannya dari fokus terhadap masalah. Nonton bioskop misalnya, atau pergi ke pantai.

Bersamaan dengan hilangnya perhatian terhadap suatu masalah, maka perasaan gelisah yang terasosiasi dengan masalah itu juga ikut lenyap. Tetapi…hal ini temporer. Akibatnya jika seseorang ingin bahagia, maka seseorang harus menambatkan fokus fikirannya melulu pada sesuatu yang bisa membahagiakan dirinya.

Atau dia harus terus menerus mengalihkan perhatian dari sesuatu yang membuat dia merasa gelisah, pada sesuatu yang membuat dia merasa bahagia.

Implikasinya ternyata cukup jelas, orang ini akan bergeser dari “sesuatu” hal kepada “sesuatu” hal yang lainnya. Dari “kebendaan” menuju “kebendaan” lainnya. Dalam arti lain, kebahagiaan orang tersebut, bagaimanapun juga tetaplah disetir oleh sebuah hal eksternal di luar dirinya.

Bagaimana para arifin memandang hal ini? Ternyata, para arifin mengajarkan pada kita untuk berhenti meloncat-loncat dari sesuatu hal kebendaan kepada hal kebendaan lainnya. Karena sikap semacam ini akan membuat kita berputar-putar tiada ujungnya.

Gelisah di urusan kantor, kita alihkan dengan nonton bioskop. Di bioskop antri kepanjangan dan menyebalkan, kita alihkan perhatian dengan beli makanan di café sebelah. Di café ketemu pelayan yang tidak tanggap dan kurang tangkas kita akan kesal. Dan siklusnya tidak akan berhenti karena kita harus menemukan hal kebendaan lainnya yang harus kita “gondeli” istilahnya kata orang jawa, kita harus menemukan hal kebendaan lainnya yang kita tumpangi dan menjadi sebab musabab gelisah atau bahagianya kita.

Bahwa “paradigma” kita, cara berfikir kita, menentukan seperti apa kita merasakan sesuatu; itu benar.

Tetapi, para arifin mengajarkan kita untuk membetulkan cara pandang itu sejak dari benar-benar permulaan. Bukan pada hal-hal temporer.

Dan inilah kurang lebih dari apa yang saya bisa catat dari petuah guru-guru.

PERTAMA. Apapun yang terjadi, pastilah takdir. Dan semua takdir pasti berhikmah. Karena tidak luput dari pengetahuanNya meskipun sebesar Zarrah, atau lebih kecil dari itu.[1]

KEDUA. Apapun yang terjadi, sebenarnya konteksnya bukanlah tentang kita, atau tentang orang lain, atau tentang hal kebendaan lainnya. Karena apapun yang terjadi adalah tentang DIA bercerita tentang diriNya sendiri.[2]

Dengan mengetahui sedikit diantara banyak point yang diajarkan guru-guru kearifan, untuk meluruskan paradigma kita tentang hidup, maka kita bisa mendudukkan konsep “mind over feelings” dengan benar.

Seorang penjahat misalnya. Dipenjara. Ini contoh yang ekstrim. Dengan mengetahui konsep ini maka dia tidak akan merutuk diri dan menjadi semakin desperate lalu putus asa dari rahmat Tuhan. Jika mengerti bahwa keseluruhan kejadian hidup adalah tentang DIA menceritakan diri, dan semua yang terjadi pasti berhikmah, maka sang penjahat akan mengerti bahwa Allah mengajarinya mengenal DIA lewat pintu pertaubatan.

Jadi konteksnya bukan dia adalah sampah masyarakat, melainkan konteks antara seorang fakir yang menemukan lewat kefakirannya itu bahwa Tuhannya adalah Yang Maha Besar.

Begitupun dengan hal apa saja yang terjadi. Kegelisahan kita karena urusan sebuah pekerjaan di kantor misalnya, tidak membuat kita lari dan mengalihkan fikiran pada hal-hal yang menyenangkan hati? Akan tetapi kita melihat pekerjaan kantor sebagai sesuatu yang sudah Allah takdirkan untuk berlaku, dan kita menemukan kefakiran diri, ketidak berdayaan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut tanpa pertolongan dari Allah, yang sejatinya persoalan itu juga DIA yang buat.

Bukan kita dan kantor. Tetapi beyond that, kita menemukan realita dari ungkapan “Allah-lah tempat bergantung” dengan cara melewati hal-hal mengguncang yang kita temukan di kantor.

Begitulah, ternyata inilah maksud dari petuah Al-Hikam:

“Jangan kamu berpindah dari satu hal (alam) kepada hal (alam) yang lain. Jika demikian kamu adalah umpama keledai yang berputar mengelilingi penggilingan, di mana ia menuju ke satu tujuan, tiba-tiba ia kembali kepada tempat mulainya. Hendaklah engkau melintasi sempadan alam dan menuju kepada Pencipta alam. Sesungguhnya kepada Tuhanmu puncak segala tujuan.”

Selama kita melulu berputar-putar pada hal yang kebendaan, maka selama itu pula gelisah-kebahagiaan kita akan disetir oleh sesuatu yang eksternal. Dan ini sangat bahaya karena kita menjadi seperti rumput yang diterbangkan angin. Angin kekiri kita kekiri, angin kekanan kita kekanan.

Pada masalah kita tertengok solusi semata. Pada gelisah kita mencari bahagia semata. Pada dosa, kita mencari moment pahala ketaatan semata.

Bukan tak boleh, boleh saja, tapi loncati sedikit.

Kita mesti meloncati kebendaan. Dan dalam paradigma yang tinggi dari para arifin ini, melintasi kebendaan itu berarti kurang lebih, menemukan DIA dalam segala-gala. Tentu “menemukan DIA” adalah majas, gaya bahasa yang maksudnya ialah secara batin, kita menjadi meyakini pengaturan-Nya berkelindan dengan kehidupan kita.

Ada masalah ada solusi, tentu saja. Tetapi jika sepanjang kehidupan kita, kita hanya berputar-putar pada masalah dan solusi, gelisah dan bahagia, berarti kita urung menangkap hikmah. Karena menurut para arifin, hikmah itu adalah pada pengertian bahwa DIA mengajari kita baik pada moment masalah dan pada moment solusi.

Ada dosa ada pertaubatan, sudah semestinya. Tetapi jika sepanjang kehidupan kita, kita hanya terpentok melihat dosa sebagai suatu bentuk ketidak-gagahan amal, dan taubat sebagai suatu bentuk kecemerlangan yang menanjak, berarti kita urung menangkap hikmah. Karena menurut para arifin, hikmah itu adalah pada pengertian bahwa DIA mengajari kita baik pada moment dosa, dan juga moment pahala.

Dosa dimengerti sebagai kenyataan bahwa tiada daya dan upaya berkebaikan kecuali karena pertolongan Dia, dan pertaubatan dimengerti sebagai jalur titian kembali kepadaNya.

Semua yang kebendaan dilompati. Dan hanya dengan begitu, barangkali, kita bisa mendudukkan konsep di atas tadi dengan lebih tepat. Hikmah yang diawali paradigma yang benar.

Wallahualam.

 

references:

[1] Tidak luput dari pengetahuan Rabbmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar daripada itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. 10:61)

[2] Allah SWT memiliki Asmaa’ul-Husnaa (nama-nama yang indah). Di antaranya adalah al-Ghafuur, ar-Rahiim, al-‘Afuww, al-Haliim, al-Khaafid, ar-Raafi’, al-Mu’izz, al-Mudzill, al-Muhyi, al-Mumiit, al-Waarits, dan ash-Shabuur. Dan, pengaruh dari Asmaa’ul-Husnaa tersebut pasti tampak.Maka dengan kebijaksanaan-Nya, Adam dan keturunannya Dia turunkan ke alam ini, di mana pengaruh Asmaa ‘ul-Husnaa tersebut menjadi nyata.

Di alam inilah Allah SWT mengampuni, mengasihi, mengangkat, memuliakan, menghinakan, menyiksa, memberi, tak memberi, melapangkan dan sebagainya bagi siapa saja yang Dia kehendaki sebagai manifestasi dari asma dan sifat yang Dia miliki. (Ibnu Qayyim dalam buku “kunci kebahagiaan”)

Gambar ilustrasi dipinjam dari link ini

Tinggalkan komentar