DIRI SEJATI YANG TAK MISTIS LAGI

Yang manakah yang menyimpan ilmu pada manusia? Ruhaninya-kah atau Biologisnya-kah? Approach dalam keilmuan islam jelas sekali menyatakan bahwa yang menyimpan ilmu pada diri manusia itu adalah anasir yang bersifat ruhaninya, bukan tubuh biologisnya.

Secara sederhana kita tahu bahwa dalam keseluruhan literatur islam –saya rasa- menyatakan bahwa saat manusia wafat, maka bagian ruhani manusia tersebut tidak hancur, melainkan pindah alam dan melanjutkan hidup.

Saat pindah alam dan melanjutkan hidup, kita juga tahu dalam banyak sekali literatur disebutkan bahwa substansi yang bersifat ruhani itulah yang membawa sepaket data berupa kumpulan pengetahuan, cara pandang hidup, rekam jejak perjalanan, pengalaman, dan bahkan identitasnya yang merupakan hasil dari pengalaman hidup dia. Tentu kita tidak mengatakan bahwa saat seseorang wafat maka hilanglah sekumpulan identitas, pengalaman,  pengetahuan orang tersebut, melainkan semua ilmu itu terikut pada tubuh yang ruhani untuk melanjutkan perjalanan di alam yang lain.

Saya kutip Naquib Al Attas dalam tulisannya “The Concept Of Education In Islam,” bahwa dalam begitu banyak referensi kita ketahui bahwa substansi ruhani tersebutlah yang merujuk pada makna “Manusia” yang sebenarnya.

Seperti saat kita mengatakan “saya” maka kita sadari atau tidak kita sadari yang kita maksudkan “saya” itu adalah diri kita yang ruhani itu[1].

Karena identitas “saya” itu kan terbangun dari kumpulan pengalaman hidup? Dan kumpulan pengalaman hidup itu sebenarnya dimengerti atau ditampung oleh substansi manusia yang ruhani itu tadi.

Oke….ini sudah mulai menjadi abstrak. Kita kembali pada kesimpelan analogi saja.

Banyak orang-orang arif, yang memberikan sebuah analogi, seolah-olah diri manusia yang ruhani itu adalah joki, dan tubuh biologis itu adalah seekor kuda. Maka saking terikatnya joki dan kuda, sang joki lama-lama mengira bahwa dirinya adalah kuda itu tadi. Padahal dirinya sejatinya adalah pengendali kuda.

Itu analogi memang tak terlalu relevan, tapi sudah cukup saya pikir untuk menjelaskan duduk perkara bahwa manusia banyak yang lupa dengan identitas sebenarnya. Barangkali, secara teori keilmuan kita sering mendengar hal ini, tetapi kita tidak pernah mengalami realitanya. Mungkin itulah kenapa saya perhatikan kok ya penjabaran tentang ini jarang disentuh oleh ilmuwan islam, seolah-olah ada dikotomi antara hal seperti ini (batiniyah) dengan konsep ilmu di dalam islam yang terlalu didominasi hal lahiriah. Saya baru sadar dikotomi semacam ini tak elok, setelah saya baca tulisan Naquib Al Attas itu tadi.

Kembali ke substansi ruhani manusia tadi. Dalam beberapa kali pengalaman dan pembacaan, saya mengamati ternyata kajian “diri sejati” manusia ini lebih banyak lengket pada kajian mistis.

Hampir bertaburan di mana-mana kita lihat kajian mengenai “diri sejati” manusia selalu dikaitkan dengan hal mistis. Kembaran ghaib. Dan berbagai istilah mistis lainnya.

Padahal, kajian tentang substansi ruhani yang ada di dalam diri manusia itu dibahas kok dalam kajian yang lebih “ilmiah” para arifin, atau dalam bahasanya Imam Ghazali disebut “lathifah Ruhiyah Rabbaniyah” (Sesuatu yang halus, ruhani), atau menurut imam Ghazali sepadan dengan isilah aql dan sepadan pula dengan istilah qalb. Jadi kajian ini adalah ilmiah, dan sudah sering dibahas ilmuwan islam lampau terutama yang akrab dengan kajian tasawuf, dan mestinya juga kembali diakrabi kita dimasa sekarang. Agar hal ini tak lagi menjadi domain kajian mistik semata.

Ternyata, barulah saya mengerti bahwa pengertian tentang sejatinya diri manusia itulah yang membedakan antara approach barat dan approach islam dalam hal pemahaman mengenai “ilmu,” dan kaitannya dengan konteks “pembelajaran.”

Sebelumnya, telah pernah kita bahas bahwa letak perbedaan antara approach barat dan islam dalam hal ilmu antara lain kurang lebih bahwa: Barat terlalu memandang manusia sebagai makhluk biologis semata, sedangkan islam memandang manusia sebagai makhluk ruhani yang terendam dalam tubuh biologis.

Implikasinya jelas, barat menganggap bahwa yang menampung ilmu adalah otak manusia, sedangkan islam menganggap yang menampung ilmu adalah substansi ruhani manusia (akan tetapi ruhani itu butuh ‘singgasana’ yaitu tubuh biologis, maka jika rusak sebagian tubuh biologis umpamanya otak, akan terganggulah transmisi kepahaman dari ruhani ke tubuh yang biologisnya).

Implikasi lebih lanjut lagi adalah, bahwa barat menganggap manusia hanyalah tubuh biologis, dan keilmuan adalah semata data yang tersimpan di memori otak manusia; maka barat mengakui hanya dua saja cara manusia memperoleh ilmu, yaitu lewat indera (biologis) dan lewat rasio atau penalaran. Sedangkan islam, karena sejak awal menganggap bahwa sejatinya diri manusia itu adalah substansi ruhaninya, dan menganggap bahwa ilmu itu adalah kepahaman yang “diturunkan” oleh Tuhan pada manusia, maka islam tak menganggap bahwa semata indera dan penalaran saja sebagai cara mendapatkan ilmu, tetapi juga bisa lewat intuisi atau insight, dan wahyu untuk para Nabi alias ilmu itu diturunkan langsung kepada substansi ruhaninya manusia.

Siapa Yang Mengajar?

Dalam pandangan Islam, yang mengajar manusia adalah Allah SWT. Pembelajarnya adalah manusia, dalam konteks manusia itu sebagai sebuah substansi ruhani itu tadi.

Dalam tradisi spiritualitas timur misalnya, ijinkan saya mengutip sekedar memperjelas saja dari khasanah di luar islam, bahwa para ahli meditasi misalnya sangat mengerti bahwa di dalam tubuh manusia ini ada substansi ruhani yang menjadi pengamat, observer. Pengamat ini terpisah dengan tubuh, dan terpisah dengan fikiran-fikiran. Buktinya, coba rekan-rekan mengamati ke dalam fikiran sendiri, apa yang sedang difikirkan sekarang? Bisa, bukan? Berarti ada yang mengamati fikiran. Yang mengamati fikiran itulah yang disebut substansi ruhani itu tadi.

Jadi kembali ke masalah tadi, dan kita tilik dari sudut islam kembali. Yang mengajar adalah Allah SWT. Pembelajarnya adalah substansi ruhani dalam tubuh manusia itu, yang oleh Imam Ghazali disebut Lathifah Rabbaniyah, oleh sebagian kalangan disebut diri yang sejati. Apa Objeknya atau medianya yang dipakai sebagai media pembelajaran?

Medianya adalah alam semesta ini.

Masih saya kutip dari tulisan Naquib Al Attas, alam semesta ini adalah seumpama sebuah kitab yang sangat besar. Dan segala hal yang ada di dalam kitab semesta ini, sejak dari horizon terjauh bahkan sampai diri kita sendiri, adalah seumpama kata-kata dalam sebuah buku.

Yang baca adala kita (substansi ruhani dalam tubuh manusia), yang dibaca, atau kata-katanya adalah apapun saja di semesta ini, dan makna-makna atau pengertian pengertian akan hakikat tentang sesuatu itu (ma’na) dimasukkan pada Allah kedalam Substansi Ruhaninya manusia.

Kalau misalnya dipandang dari konteks Tuhan sebagai sumbernya ilmu, maka makna-makna itu bisa “diturunkan” (husul) ke dalam substansi ruhaninya manusia. Atau dalam lain kata, substansi ruhani itu menangkap makna-makna yang diturunkan padanya.

Allah yang mengajar, Substansi ruhani manusialah yang pembelajar, dan medianya adalah alam raya ini. Inilah bedanya dengan approach barat yang sama sekali tak ada konteks ini.

Kalau konteksnya barat, itu seumpama mereka melihat kumpulan kata dan mereka mempelajari kata sebagai sebuah kata semata. Kata-kata tidak dianggap sebagai sekumpulan media yang mewakili makna tertentu.

Kalau islam, karena pemahaman tentang proses turunnya ilmu adalah dari Allah kepada Substansi Ruhaninya manusia, lewat media alam; maka islam tidak memandang alam semata sebagai sebuah benda. Atau kalau diibaratkan buku, tidak mungkin kan sebuah kumpulan kalimat hanya semata-mata kalimat doang? Pasti mewakili sebuah cerita yang hendak disampaikan sang pengarang.

Sama juga dengan itu, karena pembacaan terhadap alam dianggap adalah sebuah proses menanti turunnya kepahaman dari sang pemilik alam kepada Substansi Ruhaninya manusia, maka alam tidak lagi dikaji sebagai sebatas alam doang. Tetapi alam menjadi gerbang ma’rifah…gerbang pengenalan kepada “Pengarangnya.” Itulah bedanya.

Dan disini barulah saya paham, kenapa guru-guru sering sekali mengaitkan antara ilmu dan adab.

Ternyata, kalau kita mengerti bahwa keseluruhan proses pencarian ilmu itu adalah gerbang ma’rifah, dalam konteks membaca pesan “Pengarangnya,” dan Pengarang itu adalah Allah SWT sendiri, maka bagaimana mungkin sang pembelajar tak punya adab?

Sejatinya, kepada siapa dia meminta ilmu?

Kalau keseluruhan proses belajar kita adalah ejawantah dari perintah “IQRO BISMIRABBIKA” barulah paham kita kenapa para guru dulu selalu mengajarkan adab sebagai satu hal yang sepaket dengan ilmu. Karena, mau kita belajar apapun saja di alam ini, fisika, biologi, matematika, geografi, semuanya adalah seumpama kita membaca kata-kata dari sang Pencipta. Dan dengan membaca kata-kata itu kan kita (substansi ruhani dalam diri kita) menunggu makna-makna untuk diturunkan, bukan?

Tanpa adab, maka kita akan jatuh seperti kekeliruan barat. Melepaskan alam raya dari konteksnya sebagai media Tuhan mengajar kita.

Dan ini juga menjelaskan, kenapa orang semakin pintar semakin tidak menemukan Tuhan dalam kajian ilmiahnya? Karena tidak ada adab. Tak ada adab, maka Allah tak pahamkan dia hikmah. Makin belajar, harusnya makin beradab. Adab, adalah pemancing hikmah untuk mengalir kalaulah boleh kita umpamakan begitu.

Dan dalam konteks ilmu, pengetahuan, pembelajaran, sebagai gerbang ma’rifah inilah, maka ilmu yang diapit adab harus menjelma menjadi amal.

Pengetahuan dan ilmu yang kita miliki, kata Naquib Al Attas, adalah umpamanya “kepahaman.” Tapi kepahaman semata tak lengkap tanpa “ketundukan.”

Kepahaman adalah domainnya ilmu, ketundukan adalah domainnya amal.

Kepahaman semata, tanpa ketundukan, adalah arogansi. Berarti kita hanya menempatkan alam sebagai alam semata, ilmu sebagai ilmu semata, persis approach filosof dan barat.

Sedangkan ketundukan semata, tanpa kepahaman, adalah sikap ignorance. Pengabaian. Karena ketundukan yang penuh makna mestilah melahirkan kepahaman. Gerbang ma’rifah kan pengenalan?

Ternyata disinilah kelirunya kita. Sudahlah kita tidak akrab dengan sejatinya diri manusia, ditambah lagi kita membaca alam sebagai alam semata. Mungkin ini yang dikata orang dengan lupa konteks.

references

[1] Syed Muhammad Naquib Al Attas, The Concept Of Education In Islam, pages 3