PEDOMAN BELAJAR DAN SANTAI MELIHAT KERAGAMAN

Sewaktu kecil dulu, kalau tak khilaf waktu SMP, saya begitu gandrung membaca buku tanya jawab fikih agama. Kebetulan waktu itu yang saya baca buku lama, ejaan melayu, karangan ulama besar sejaman dengan Bung Karno. Luar biasa buku tebal itu. Elok nian penjabaran logika pengambilan hukum di sana.

Dari buku itu, saya jadi sedikit-sedikit paham logika pengambilan keputusan sebuah hukum. Ngerti banget sih enggak, tapi setidaknya kalau mencermati diskusi dan mbaca jadi lebih bisa mengikuti polanya. Karna ngerti gambaran alur pengambilan keputusan suatu hukum bagaimana.

Nah waktu SMP itu, saya sampai pengen mendebat imam masjid karna kalau ada pengumuman wafatnya salah seorang yang tinggal di komplek, mesti beliau ini mengajak baca fatihah. Hahahaha….Klasik banget ya, reaksi saya waktu itu?

Setelah mendewasa saya akhirnya baru melihat dengan wacana yang lebih luas. Dan jadi bersyukur, alhamdulillah, fase euphoria keberagamaan yang merasa paling bener sendiri dan ingin ngoreksi orang terus, sudah saya lewati pada usia yang masih dini.

Setidaknya, dari perjalanan pribadi, ada beberapa hal yang saya catat berguna bagi diri saya pribadi. Saya ingin sharekan siapa tahu bermanfaat juga buat rekan-rekan disini.

PERTAMA, adalah selalulah cari seseorang yang memiliki otoritas dalam ilmunya. Hal ini untuk menjamin kejernihan ilmu.

Otoritas ini, bisa dilihat dari aspek legal formal semisal gelar, lineage pembelajaran, atau bisa juga dari konsensus. Karna kita sama-sama tahu bahwa ada orang-orang yang tak punya gelar tetapi kemampuan dan kapasitasnya diakui khalayak.

Tentu tak menutup fakta bahwa kita bisa belajar dari siapapun, tetapi ini konteksnya beda. Belajar ilmu, mesti pada yang otoritatif. Mengambil hikmah, bisa dari siapapun saja.

KEDUA. Pahami flow atau urut-urutan prosesnya. Misalnya begini, contoh sederhananya misalnya beladiri deh. Satunya gulat. Satunya karate.

Gulat dan karate memiliki pandangan filosofi yang berbeda. Gulat atau misalnya yang sejenis yaitu Brazilian jujitsu berangkat dari filosofi bahwa hampir 90% dari pertarungan satu lawan satu mesti berakhir dengan bergumul di tanah. Maka itulah mereka akan mengembangkan segala varian jurus dalam rangka menarik lawan jatuh ke tanah dan menguncinya di tanah.

Lain halnya karate atau kungfu yang berasal dari beladiri perang, anggapan mereka adalah kalau jatuh ke tanah pasti mati dibacok pedang. Makanya mereka mengembangkan segala varian jurus agar pertarungan diselesaikan dalam satu dua pukulan atau tendangan. Dan minim bergumul.

Kebanyakan kita, lupa filosofinya, tetapi sibuk jurusnya. Membandingkan satu jurus dengan jurus lainnya, tetapi lupa bahwa jurus hanyalah derivasi dari filosofi perang.

Begitu juga fikih. Produk fikih, kata para alim, adalah derivasi dari logika-logika premis fikih, alias ushul fikih. Yang perlu dimengerti adalah logika ushulnya. Karena kalau produknya yaitu berupa hukum-hukum fikih, bisa amburadul banyaknya tergantung sikon.

Dan dari sinilah saya baru mengerti tentang mazhab. Mazhab, adalah berangkat dari filosofi atau metoda itu.

Kalau anda doktor fikih, ya gapapa melaburkan diri dalam debat hukum-hukum fikih. Tetapi, kalau anda ga ngerti, at least kita belajar memahami logika-logika pokoknya, ushul, belajar flownya, kerangka besarnya, lalu kemudian setelah mengerti maka kita ikuti saja produk fikih yang sudah disusun para ahli yang metoda mereka dalam pengambilan sebuah keputusan hukum sudah kita mengerti atau kita pilih.

KETIGA. Dan ini yang paling penting. Ilmu apapun saja sejatinya adalah belajar mengakrabi bagaimana DIA mentadbir atau mengatur alam raya ini. Jangan lepaskan segala pembacaan kita terhadap kehidupan dari konteks ini. Sekalinya kita lepas dari konteks ini, maka kita akan lebih sibuk kepada ilmu-ilmu itu, ketimbang menangkap hikmah keseharian yang ditebar oleh Sang Pemilik segala ilmu itu tadi.

Belajar ilmu sebagai semata ilmu tok, itu namanya IQRO. Tetapi belajar dalam konteks pembacaan bahwa segala-gala yang terhampar ini adalah cara DIA menceritakan diri, adalah Iqro BISMIROBBIKA.

Hanya dengan sikap IQRO BISMIRABBIKA inilah hikmah akan turun, dan kita bisa santai melihat keragaman.

Wallahualam.