URUNG LOGOUT FACEBOOK; MENITI JALAN YANG BUKAN KERAHIBAN

kerahiban

Pagi-pagi buka FB, niatnya mau refreshing, eh tiba-tiba melihat sebuah posting dimana seorang dari kelompok sebelah menghujat ustadz Somad tokoh terkenal dari kalangan aswaja, pasalnya karena ustadz somad menjelaskan bahwa “Allah ada tanpa tempat”. Lalu dijelaskan lebih lanjut bahwa “tempat” itu adalah ciptaan juga, maka Allah suci dari “arah” dan “tempat”. Sebuah bahasan yang sebenarnya sangat lumrah dijumpai dalam kajian sufistik.

Tetapi, seperti biasanya kalangan sebelah, mereka memaknai sesuatu secara literal, sehingga bagi mereka Allah itu ya di atas langit sana sedang duduk di atas arasy.

Saya tak hendak membahas dua hal itu, karena yang ahli sudah banyak, dan sepanjang pengamatan saya debat ini tak henti-hentinya. Yang satu literal, yang satu pemaknaannya lebih dalam dan sufistik. Ya monggo-lah dengan cara pandang masing-masing.

Yang saya hendak bahas adalah gejolak hati saya, dimana saya tiba-tiba tersulut dan kesal juga karena ulama dilecehkan. Hendak saya membalas komentar di kolom FB, tiba-tiba teringat dengan kajian salah seorang guru mengenai “turun padang”. Jadi tak jadilah saya menulis di komentar. https://debuterbang.wordpress.com/2017/05/05/turun-padang-dan-kuncir-rambut/ 

Menurut seorang arif (Ust. H. Hussien Abd. Latiff), apabila yang “nampak” dalam pandangan kita bukan lagi sifat-sifat, keragaman tak lagi menimbulkan bekas di hati kita. Karena kita nampak keragaman itu sebagai dzat-Nya semata-mata. Sifat-sifat itu tidak eksis dalam pandangan kita. Itu cara pandang lewat pintu belakang.

Jika dipandang lewat pintu depan, keragaman yang banyak itu, pastilah dijadikan dalam suatu hikmah. Sebuah greater good yang tidak mungkin sia-sia. Maka, dalam keragaman yang kadang-kadang memicu emosi, kita menjadi reda dan memaklumi, bahwa keragaman memang begitu adanya, dan memang baik adanya.

Dalam kaitannya bahwa keragaman adalah berhikmah, saya teringat kembali dengan sebuah perumpamaan dari Rumi dalam “Fihi Ma Fihi”. Dikatakan oleh Rumi, tidak ada kependetaan / kerahiban dalam islam. (Saya yakin rekan-rekan ingat dengan sebuah hadits dimana seorang sahabat hidup dalam sikap kerahiban, ibadah terus sampai melupakan istrinya, lalu ditegur oleh Rasulullah SAW agar memperhatikan hak-hak istri dan hak-hak dirinya, dan dikatakan tidak ada kerahiban dalam islam).

Apa maksud hidup dalam sikap kerahiban?

Menurut Rumi, hidup dalam kerahiban itu adalah jalan mengasingkan diri, menahan diri dalam kesunyian dan menahan diri dari syahwat.

Apakah jalan seperti itu bisa menaikkan spiritualitas seseorang? Ya tentu bisa…. Contohnya kita lihat para pertapa. Atau misalnya kita lihat Isa a.s tidak menikah. Jalan kerahiban adalah salah satu metoda.

Hanya saja……

Hanya saja metoda dalam islam adalah antitesis jalan kerahiban. Jika jalan kerahiban adalah dengan “tidak menikah” dan mengasingkan diri dalam kesunyian agar terhindar dari hingar bingar dan syahwat lalu spiritualitas meningkat. Jalan islam justru sebaliknya, yaitu masuk dalam “hingar bingar” agar lewat gejolak itu kita tertempa spiritualitasnya, lewat penerimaan dan ridho atas keragaman yang tampak kasat mata seolah sebagai kesewenang-wenangan, padahal medan penempaan diri.

Menurut Rumi, ketimbang lewat jalan kerahiban dan tidak menikah, maka jalan islam lebih gampang, yaitu menikah dan ridho dalam keragaman. Bagaimana menyucikan diri lewat keragaman? Kata Rumi, “Siang dan malam kau terus berjuang, berusaha memperbaiki perangai perempuan dan menyucikan kekotorannya melalui dirimu. Padahal jalan yang lebih baik adalah kau menyucikan dirimu melalui dirinya…..” agar mengasah diri menjadi lebih jernih.

Perumpamaan di atas hanyalah perlambang. Jika hidup di atas jalan kerahiban adalah mengasingkan diri dari keramaian dan gejolak. Maka jalan islam adalah justru dengan berkecimpung dalam “gejolak” dalam sikap yang benar justru akan membantu menyucikan kita.

Dengan sikap tahammul (sabar dan menanggung beban) yang kita terima dari keragaman itu.

Itulah pandangan “depan” dan pandangan “belakang” yang sangat indah menurut saya. Maka saya urung logout facebook… hehehehehe…. Karena keragaman itu memang begitu adanya. Dan ternyata jalan islam adalah dengan membersihkan diri lewat penerimaan yang ridho atas keragaman itu, lalu menyadari bahwa keragaman itu tak lain tak bukan hanya tampilan casing sifat-sifat yang tak benar-benar eksis.


*) image sources

Tinggalkan komentar