MANTRA KEBAHAGIAAN

kebahagiaan

Saya benar-benar merasa beruntung, untuk telah dikelilingi begitu banyak orang-orang yang kebaikan mereka sebegitu tertanam dalam memori saya. Sebagian orang-orang yang saya kenal ini memang sukses secara kasat mata. Misalnya saja rekan-rekan di perkuliahan saya. Saya menjadi saksi bahwa cerita tentang orang-orang dengan latar belakang keluarga seadanya, lalu kemudian berubah menjadi orang-orang sukses karena perjuangan mereka; tidaklah hanya ada pada sesumbar cerita-cerita motivasi. Ini real.

Saya tidak bisa untuk tidak bangga pada mereka. Tentu sedikit iri kadang-kadang juga ada, tapi saya menepis iri itu agar tidak menjadi pemantik untuk sebuah pertandingan yang tak perlu. Orang-orang yang lebih sukses daripada saya, di dalam hati saya, saya daulat menjadi guru kehidupan untuk saya. Tanpa mereka pernah tahu.

Tapi kadang-kadang, saya bisa menemukan kembali kegairahan untuk terus bekerja, tanpa perlu menjadikan iri pada orang lain sebagai bahan bakarnya. Dan sering saya menemukan juga, bahwa saya tidak perlu alasan yang terlalu filsafat untuk menghentikan iri dan pertandingan yang tak perlu dalam kehidupan saya. Cukup saya melihat sekeliling saya, dan saya akan menemukan orang-orang yang tetap berjuang dengan kebaikan dan ketulusan sempurna, tanpa aura kedengkian, iri hati, atau keinginan berpenyakit apapun itu. Meski secara hitung-hitungan sederhananya, saya lebih beruntung daripada mereka.

Keluarga Nenek saya di kampung, selalu menimbulkan kenangan yang baik dan enak. Mungkin saja, saya masih bertahan hidup dalam segala kebaikan kejadian, dan masih diselamatkan dalam segala kekhilafan yang tidak pintar, adalah sumbangsih doa-doa mereka yang tulus.

Waktu saya sedang bertugas di sebuah pengeboran migas di darat, saya lupa persisnya dimana. Jalanan menuju anjungan pengeboran itu dijeda oleh pemandangan gubuk-gubuk yang kecil, dan orang-orang yang melihat dengan tatapan yang tidak bisa saya artikan.

Saya tidak tahan untuk tidak sekali-sekali menoleh dan melihat rumah-rumah kecil yang mereka dirikan itu. Bukan semata soal mereka, tapi juga soal saya sendiri. Kemunculan mereka pada sebuah episode pekerjaan yang sudah demikian memutus memori saya tentang kebaikan orang-orang desa, seakan memanggil-manggil saya. Bahwa ada sesuatu yang harus saya jaga tetap sinambung. Ingatan dan rasa terimakasih terhadap segala yang berjasa. Terhadap keluarga Nenek.

Orang-orang yang saya lihat pada jalanan menuju area pengeboran itu, kalau secara kasaran saja, adalah orang-orang yang kalah beruntung dibanding keluarga Nenek saya. Dan keluarga Nenek saya, mungkin saja adalah orang-orang yang kalah beruntung dibanding saya. Tapi saya membatin sendiri sembari kerja. Ah…apatah keberuntungan itu?

Misalnya saja, saya tahu orang-orang di sekitar area pengeboran itu adalah orang yang mungkin tidak pernah mencecap pendidikan, tapi apa benar mereka tidak bahagia? Ada sebuah kenyataan bahwa mereka sedang berada dalam kehidupan yang bahagia. Versi mereka.

Bangun pagi, bertemu anak istrinya. Bercerita dan tertawa. Menanak nasi. Lalu sama-sama pergi ke kebun lalu menanam lalu memetik. Betapa hidup mereka begitu ramah dan berkelindan dengan alam. Mereka sudah benar-benar membuktikan filsafat rezeki yang dibaca orang-orang kota dari buku-buku di gramedia, ‘burung saja terbang di pagi hari, lalu kembali sore hari dengan perut kenyang”.

Di benak mereka, Tuhan adalah maha pengasih penyayang. Mereka benar-benar sudah menjadi penyaksi. Saat mereka mengatakan “aku bersaksi” maka kesadaran bahwa dunia ini dibanjur oleh welas asihnya Allah, benar-benar mereka rasakan. Tidak menipu.

Ada yang berdebat dalam benak saya. Baru saat itulah saya menyadari sebuah harmoni yang lain lagi. Harmoni itu adalah saat nurani kepahlawanan, kebaikan kita tersentil dengan ketimpangan sosial, lalu dengan semangat kita ingin membantu orang-orang seperti itu, umpamanya dengan pendidikan, dengan mengajari mereka baca- tulis- hitung, kita harus hati-hati menanamkan ide-nya kepada mereka. Dan ide-nya kepada diri kita sendiri.

Ide itu adalah, bahwa mereka sedang berbahagia. Dan kita datang untuk menggenapkan kebahagiaan mereka. Memberi wacana tentang berbagai-bagai model kebahagiaan yang harus dicecap.

Bukan lantas membanting mereka dari suasana kedamaian kejiwaan, “eh… kalian itu sebenarnya tertinggal, lihatlah orang-orang yang sukses, bisa baca, punya rumah, punya mobil, kalian tertinggal…hahahaha…kalian tertinggal….ayo bangun, kejar orang-orang itu.”

Saya yakin, orang-orang yang dipantik geloranya dengan isu klasik ‘ketertinggalan dari orang lain’ akan bisa bangkit. Tapi kebangkitan mereka ini sejatinya berbahan bakar amarah. Saya merasakan, memaksa orang lain untuk bangkit lewat mantra-mantra kemarahan dan dendam atas kesuksesan orang lain; adalah sangat tidak elok. Mereka bisa sukses terlihat pada kasarannya, tapi sebenarnya mereka sedang seperti kesetanan. Berlari terus, berlari terus…untuk tidak pernah menerima kekalahan. Dan yang lebih buruk dari itu adalah mereka belajar membenci kelebihan orang lain. Karena kelebihan orang lain, berarti kekurangan mereka, dan kekurangan mereka adalah tafsir dari tidak bahagia.

Apakah kita yang S2 lantas harus memandang dengan iba kepada orang-orang yang S1, sembari mereduksi kebahagiaan pada tataran gelar  tipuan semata. “Ah…kasihan benar orang-orang yang hanya S1 itu”. Dan siklus ini bisa bergulir seperti bola salju tak terkendali. Yang SMA memandang dengan penuh iba kepada yang tak berpendidikan.

Bukan tak boleh memajukan.Saya setuju tentang membaikkan peradaban. Betapa saya iri pada orang-orang tulus yang membangun negeri ini. Yang melihat mereka saya ingin beringsut hilang saja, sudahlah manusia ini tak ada apa-apanya, dan didalam kekecilan itu rupanya saya masih kecil juga dibanding orang-orang baik itu.

Tapi saya tidak setuju dengan ide bahwa orang-orang yang sedang kita ajak maju adalah orang-orang yang tidak bahagia. Maka mereka hanya bisa kita buat bahagia dengan mengajarkan sebuah lelakon “tidak mau kalah dengan orang lain”.

Saya teringat nenek saya. Tiada pendidikan. Baca tulis beliau tak bisa. Satu-satunya tulisan yang bisa beliau buat adalah tanda tangan beliau. Babak demi babak waktu kakek saya yang kepala sekolah itu mengajari istrinya sebuah tanda tangan sederhana sebagai kelengkapan syarat naik haji, saya ingat sekali.

Saya tahu kakek saya tahu istrinya tiada bisa membaca dan menulis. Tapi ada fakta bahwa kakek tak pernah saya liat memaksa nenek untuk bisa baca tulis. Dan tak pernah saya lihat kakek menatap nenek dengan sebuah pandangan yang mengasihani, karena kakek sadar bahwa kebahagiaan itu bentuknya tidak bisa diraba, dan tidak bisa dipaksa.

Toh saya senang, memiliki memori kakek-nenek yang begitu mesra. Sampai-sampai seloroh ibu saya adalah kalau kakek ingin pergi ke sungai dan hendak buang hajat, itupun dia gelisah mencari-cari nenek dulu. Hendak pamit. Jangan-jangan nanti nenek kebingungan mencari kakek. Betapa drama. Dan betapa nyata. Bahagia.

Tapi kakek juga seorang pemaksa, pada celahnya yang dia rasa tepat. Saya tak boleh minum, tak boleh makan, sebelum saya menamatkan mengeja bacaan pada buku yang dia beri. Kakek mengajari saya segala yang dia tahu.

Saya memberanikan diri berkesimpulan. Bahwa kakek mengajari saya, karena keterpanggilannya sendiri. Karena ingin memberikan wacana kepada saya bahwa ada berjuta-juta keajaiban di luar sana yang bisa saya ketahui lewat jendela aksara.

Tapi kakek tahu, bahwa kebahagiaan saya akan tumbuh lewat pemaknaan saya sendiri. Kebahagiaan nenek akan tumbuh dari penghayatan nenek sendiri. Karena eskalasi kebahagiaan itu bertingkat-tingkat. Tak terdefinisi. Berbagi saja. Sesederhana itu. Tak ada pesan-pesan kebencian. Tak ada mantra-mantra kemarahan. Tak ada pemaksaan kebahagiaan.

Mungkin karena menyadari betul bahwa kebahagiaan itu indah dengan rupanya yang fleksibel itulah, orang-orang desa bisa menjadi lebih spiritualis dibanding saya, dibanding kita.

Saya ingat, berapa bulan sebelum kematian kakek, kakek telah mengurus segala administrasinya, agar kelak saat beliau meninggal nenek bisa menikmati uang pensiun kakek tanpa repot. Kakek tahu nenek buta aksara.

Saya selalu membayangkan adegan opera, waktu nenek dengan kaca-kaca pada matanya mengenang kakek setiap kali mengambil uang pensiun. Kakek meninggal diawali dengan firasat yang indah dan penuh cinta. Firasat yang jarang kita temukan sekarang.

Dan yang terakhir bibi saya di sebelah rumah nenek. Dia saya ingat sebagai seorang yang jarang bicara. Tersenyum seperlunya saja. Suka memberi saya sangu kalau pulang kampung. Dan pekerja keras. Waktu bibi sedang menggoreng pisang dagangannya untuk biaya kuliah anaknya, dan asik ngobrol di depan rumah, tiba-tiba saja dia tergeletak dan wafat. Sebegitu sederhananya. Kata ibu saya waktu melayat, betapa teduh wajahnya.

Kepada orang-orang seperti ini. Saya sering merasa kerdil. Saya tidak mengingat satupun bahwa saya pernah berbuat baik kepada mereka. Sedang mereka dengan segala ketertingalannya yang jujur, selalu mengirimkan SMS bertanya kabar, mengirimkan doa, menjadikan saya sebagai contoh kebaikan untuk anaknya, dan banyak lagi.

Andaikan saja, saya diberikan ketrampilan untuk melisankan apa-apa yang saya fikirkan, saya akan menyempatkan diri, kembali ke sana, dan menggenapkan bakti yang belum tuntas.

Mungkin dengan mengajak mereka untuk menyerap ilmu-ilmu lebih banyak. Wacana-wacana lebih luas. Bukan perkara mereka tertinggal dan tidak bahagia. Bukan perkara ada orang lain yang ada pada puncak harta lalu harus kita gulingkan. Tapi semata urun terimakasih. Karena saya yang telah lancang untuk minim bertegur-tegur. Kepada mereka, dan kepada Tuhan yang telah mengaliri mereka dengan kejujuran yang manis sekali dikenang.

—–

note: gambar diambil dari sini