MENGOSONGKAN GELAS DI ERA DIGITAL

Awalnya saya termasuk yang lebih suka membaca dan diam. Persepsi saya tentang kreativitas juga keliru, dan dalam banyak hal saya mengira saya adalah seorang autodidak yang ulung.

Sampai Alhamdulillah bertemu dengan beberapa tulisan dan kawan yang memberikan insight yang jernih, bahwa kita hidup dalam Era Digital, dimana saling keterkaitan adalah Niscaya, dan kreativitas tumbuh dalam kerja bersama.

Semoga YouTube singkat ini bermanfaat. Tentang mengapa kita harus kembali menjenguk pepatah singkat “empty your cup”, dalam era digital ini.

Terimakasih untuk yang berkenan mampir dan nonton 🙏🏻

BELAJAR STORYTELLING SEPERTI PEMBICARA TED TALKS

Sewaktu saya menghadiri acara di San Antonio Texas sekitar awal 2015, saya tertegun melihat banyak sekali pembicara yang hebat-hebat dan dari berbagai latar.

Melihat mereka, saya menjadi sadar bahwa banyak yang saya belum pahami dari seni bercerita.

Maka saya belajar dan memperkaya khasanah public speaking. Salah satunya dengan nonton Ted Talks.

Poin-poinnya saya tulis disini semoga bermanfaat.

NABI SULAIMAN, IKAN, DAN PELAJARAN YANG SERING DILUPAKAN ORANG YANG BERQURBAN

Semasa idul adha kemarin, setelah mendengar kisah Nabi Ibrahim berulang-ulang, saya malah tiba-tiba teringat dengan kisah lailnnya yaitu kisah Nabi Sulaiman as. Agak-agak random memang, tetapi tergelitik juga hati untuk menuliskannya.

Syahdan, dalam ceritra yang masyhur dikatakan bahwa Nabi Sulaiman as pernah meminta kepada Allah SWT agar diberikan kesempatan untuk memberikan rejeki pada semua makhluk.

Singkat cerita, dikatakan bahwa Allah SWT memberi tahu nabi Sulaiman as. Bahwa beliau tidak akan sanggup.

Nego-nego akhirnya diputuskanlah Nabi Sulaiman as diberikan kesempatan untuk memberikan rejeki semua makhluk pada satu hari saja.

Hari yang ditetapkan pun tiba, lalu Nabi Sulaiman mengumpulkan seluruh pegawai kerajaan untuk menyiapkan berbagai hidangan. Kononnya hidangan disiapkan pada sebuah padang yang luas, dan saat itu Nabi Sulaiman memerintahkan angin untuk berhenti bertiup agar tidak menerbangkan hidangan yang sudah disiapkan berhari-hari itu.

Setelah dirasa siap, maka Nabi Sulaiman as ditanya, makhluk mana yang akan diberikan bagian pertama kali?

Dijawab oleh nabi Sulaiman as, bahwa yang pertama kali adalah makhluk dari air / laut.

Allah lalu memerintahkan makhluk laut datang, yang pertama kali datang adalah sejenis paus yang besar.

Dia bercakap dengan Nabi Sulaiman as, dan mengatakan bahwa Allah SWT memerintahkan dia datang, karena hari ini rejekinya dijaminkan lewat Nabi Sulaiman as.

Diberikanlah hidangan itu pada Ikan besar itu.

Tak disangka, hidangan yang disiapkan konon selama 40 hari itu habis tandas dilahap oleh ikan besar itu.

Setelah itu, ikan tersebut berkata kepada Nabi Sulaiman as, bahwa ikan tersebut masih lapar.

Nabi Sulaiman as. Pun kaget, bahwa makanan sebanyak itu habis oleh ikan tersebut dan ikan tersebut masih lapar.

Lalu tertunduklah beliau dan mengakui bahwa Allah SWT Maha Suci dan penjamin rejeki semua makhlukNya.

Teringat saya dengan cerita ini, karena tiba-tiba terbayang bahwa satu hal yang seringkali dilupakan oleh orang dengan jiwa empati yang tinggi dan punya kecenderungan “berkurban” atau keinginan besar membantu orang lain; adalah mengira bahwa dirinyalah yang sebenarnya menolong.

Hal ini akan berdampak buruk, karena rasa empati yang besar, tanpa didasari dengan pemahaman yang benar, seringkali membuat seseorang itu menyesali dirinya sendiri karena tidak bisa membantu.

Rasa empati yang dalam bisa jadi membuat frustasi jika seseorang itu tidak bisa membantu banyak.

Maka perlu disadari kembali bahwa membantu, berqurban, berkebaikan, adalah mulia, tetapi tetap harus menyadari bahwa sebenarnya kita hanyalah salah satu keran saja untuk pertolongan Tuhan mengalir; dan yang sebenarnya menolong-menjamin rejeki-melindungi-membahagiakan- adalah Allah sendiri. Bukan kita.

Lebih jauh lagi, apapun yang terjadi pada orang lain -yang hendak kita bantu- sejatinya adalah juga takdir Allah, yang berhikmah, dan memiliki runutan-runutan ceritanya sendiri. Kita membantu sebisa kita, tetapi harus kita sadari bahwa orang tersebut memiliki rangkaian ceritanya sendiri dalam cerita hidup ini, yang hikmahnya kita tidak tahu.

Karena, jika seseorang dengan rasa empati yang tinggi, ingin menanggung beban dunia ini, maka pastilah tidak sanggup.

Dengan mengetahui bahwa kita tidak sanggup menolong, dan yang sejatinya menolong adalah Tuhan, maka kita sudah menuai pelajaran dari Nabi Sulaiman as dan ikan besar itu.

===
Kisah ini ada pada Kitab Durratun Nasihin fil Wa‘zhi wal Irsyad karya Syekh Utsman bin Hasan bin Ahmad As-Syakir Al-Khaubawi, hal. 229-230. (Saya tidak baca langsung, hehehe… hanya copy paste saja, dan ceritanya sudah banyak beredar. Harap ambil maknanya saja)

SPIRITUALITAS AGAMA UNTUK ANAK MUDA

Pagi-pagi dalam perjalanan ke kantor, saya nonton sebuah tayangan YouTube dari salah satu channel yang lagi booming, yang membahas tentang filsafat stoic.

Dimana-mana ketemu bahasan filsafat STOIC ini, mulai dari channel YouTube om Deddy sampai channel Raditya Dika. Jadi tertarik juga untuk menonton bahasannya.

Filsafat STOIC ini adalah cara pandang terhadap hidup, yang masyhur dari Yunani. Dikatakan STOIC artinya Teras, kononnya filosofi ini dibahas dipelataran atau teras berpilar, jadi modelnya rileks. Seperti ngaji-ngaji di beranda gitulah.

Mengapa filosofi STOIC masyhur? Mungkin karena bahasannya aplikatif, bahasan yang praktis dan simpel dalam hidup keseharian. Yang mana efeknya adalah membuat seseorang menjadi lebih rileks dalam memandang hidup. Salah satu contohnya yang paling gampang adalah teori dikotomi kendali, memisahkan mana yang tugas kita dan mana yang bukan tugas kita. Misalnya, menulis itu tugas kita, tapi tanggapan orang terhadap tulisan kita -itu ranah orang lain. Maka jangan fokus terhadap hal yang bukan ranah kita, urus saja yang menjadi ranah kita. Begitu salah satunya.

Nah, salah satu tokoh yang terkenal, seorang yang mempelajari juga filosofi ini adalah Marcus Aurelius, yang seorang Raja. Dengan berbekal pandangan dari filosofi ini, Marcus Aurelius konon menjadi seorang Raja yang sabar dan tangguh.

MENGAPA KAJIAN SEMACAM INI MENJADI POPULER DI KALANGAN ANAK MUDA SEKARANG?

Analisa saya, kajian filsafat semacam ini menjadi populer lagi di zaman sekarang, dan di kalangan anak muda, antara lain:

1) karena kajiannya yang Universal, dan aplikatif. Dari yang biasanya bahasan filsafat rumit-rumit, tetapi diberikan padanannya yang aplikatif, dan juga universal dalam artian semua kalangan bisa mempelajari, tidak terkait agama-lah begitu kurang lebih.

2) Selain itu, penyebarannya di zaman sos-med ini sangat terbantu, karena banyak media, bisa YouTube, instagram, tiktok dan macam-macam.

3) Anak Muda butuh obat untuk mengatasi tekanan dalam era globalisasi. Yang paling penting yang perlu sekali digaris bawahi adalah fakta bahwa anak muda zaman sekarang itu haus akan pencerahan-pencerahan yang bisa membantu mereka mengatasi stress, karena hidup di zaman sekarang, dalam era yang berputar cepat dan tuntutan yang tinggi, orang-orang akan sangat gampang sekali gelisah. Anak muda sekarang hidup dalam zaman yang berputar terlampau cepat.

4) Dan yang terakhir adalah anak muda, memang sudah masuk fasenya untuk mulai merenung yang mendalam. Bahasa kerennya adalah quarter life crisis. Saat sudah masuk usia perempat, maka fase hidup sudah mau tak mau akan bertanya-tanya tentang makna hidup. Misalnya pulang kerja, duduk ngopi-ngopi sambil ngopi, selesai ngerokok gitar-gitaran maka merenung….ini hidup mau kemana ya?? Saya ini mau ngapain?? Kok saya gini-gini aja ya? Kok hidup saya ga bermakna ya? Mau tidak mau akan bertanya sendiri seperti itu, meskipun kelihatannya bukan seorang pemikir atau perenung, tetap akan sampai masanya, karena memang itu fasenya hidup manusia.

APAKAH KAJIAN SEMACAM INI BAIK?

Kalau menurut saya pribadi sih baik, karena mengajarkan berfikir mendalam dan runut. Dan mengajarkan untuk berfikir mendasar, melihat tabiat kehidupan.

Ya misalnya seperti tadi, kemampuan mental untuk memisahkan mana hal yang menjadi urusan kita, dan mana hal yang diluar diri kita, ini kan wejangan yang baik.

Dan kalau saya lihat-lihat sebenarnya mirip juga dengan wejangan kebijakan yang lebih timur, misalnya bahwa segala hal terdiri dari dualitas yang selalu berganti-ganti, senang-susah, suka-duka, tidak ada yang abadi dan semua selalu berputar.

Dengan memahami mengenai tabiat kehidupan, atau mungkin bahasa lainnya adalah sunnatullah, maka seseorang bisa lebih rileks menghadapi hidup, karena menyadari bahwa memang tabiat kehidupan itu seperti itu, yo wis…. begitu kurang lebih.

TANGGA AWALAN UNTUK MASUK KE DALAM SPIRITUALITAS YANG LEBIH DALAM

Hanya saja, yang patut direnungi juga buat anak muda adalah bahwa kajian-kajian semacam ini, biasanya adalah tangga awalan untuk masuk dalam kajian yang lebih dalam, yaitu spiritualitas agama. Kalau dalam islam, Tasawuf.

Saat seseorang sudah berfikir secara benar, sudah bisa memilah-milah perkara dengan baik, sudah melihat keteraturan dan sunnatullah di alam ini, pasti dia akan masuk lebih dalam pada bahasan berikutnya, ini semua ada yang nyusun.

Dan saat sudah mengaitkan antara kehidupan ini dengan penciptaNya, sudah membahas mengenai kaitan antara alam dan Tuhan, sudah masuk bahasan bahwa segala yang ada ini dan segala cerita ini adalah menceritakan DIA, bukan tentang kita, maka sudah masuk ranahnya Tasawuf.

Kalau bahasan filsafat itu bagus dalam rangka berfikir mendasar, dia menghantarkan ke gerbang. Tetapi akan kurang jika anak muda tidak masuk dalam bahasan tasawuf. Karena awaluddin makrifatullah, awal beragama adalah mengenal Allah. Sang pencipta, yang menyusunkan semua keteraturan yang kita temui lewat dunia filsafat itu.

Kalau filsafat itu membahas mengenai menyadari jejak-jejak keteraturan di alam, maka bahasan tasawuf itu adalah mengenali pencipta keteraturan itu.

APA PENTINGNYA MEMPELAJARI TASAWUF / SPIRITUALITAS ISLAM/ KAJIAN SUFISTIK BAGI ANAK MUDA?

Penting sekali, karena jika kita kaitkan dengan poin-poin di atas, dimana anak muda di era globalisasi akan lebih tertekan, banyak tuntutan, dan menjadi lebih gampang stress, dan anak muda biasanya masuk fase quarter life crisis; maka jawaban untuk mencari ketenangan sejati itu adalah terletak pada pengenalan kepada Sang Pencipta, yang menciptakan semua susunan dalam kehidupan, dan mengetahui bahwa Pencipta itu dekat, mengetahui bahwa semuanya sudah tertakdir dan pasti berhikmah, dan mengetahui cara mengingat-Nya supaya dalam fikiran tidak seliweran terlalu banyak hal dan kekhawatiran.

Ini semua sangat penting dan sangat-sangat mendasar. Sebuah ranah yang harusnya juga dimasuki oleh anak-anak muda yang mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam hidup mereka. Ranah spiritualitas agama.

Hanya saja mungkin ranah agama tidak terlalu diminati karena ya sisi spiritualitasnya ini tidak terbahasakan dengan renyah, dan dianggap hanya bahasan orang tua semata-mata, dan bahasan yang tidak aplikatif. Padahal, kalau saya pribadi melihat-lihat, mutiara yang dicari orang-orang, dan khususnya anak muda, itu tersimpan rapih dalam spiritualitas agama.

Jadi anak muda ayo belajar spiritualitas agama.

JALAN ILMU DAN JALAN KESADARAN

Saya teringat seorang kawan saya, yang setiap bertemu masalah di kantor, selalu optimis dan mengatakan insyaAllah kita akan menemukan jalan keluar. Tidak sekali dua dia mengatakan hal seperti itu, ada masalah…. dia katakan insyaAllah Allah akan tunjukkan jalan keluar. Minggu berikutnya dia katakan hal yang sama. Berulang-ulang.

Sampai akhirnya saya mengerti bahwa teman saya ini, tanpa dia sadari…digembleng lewat kehidupan (dalam hal ini oleh dunia korporasi), melalui masalah-masalah yang dia temukan, hingga dia menjadi yakin bahwa pertolongan Tuhan selalu ada.

Saya teringat seorang guru mengajarkan bahwa ma’rifat (pengenalan kepada Tuhan) bisa didapatkan lewat dua jalan. Satu jalan adalah melalui “kesadaran” lewat peristiwa yang memberi guncangan dan bekas yang dalam pada jiwa, jalan lainnya adalah melalui ilmu.

Contoh jalan pertama, adalah misalnya seseorang tenggelam di lautan. Dalam kepanikannya itu lalu dia berdo’a antara hidup dan mati, jika dia selamat maka dia akan sungguh-sungguh beribadah kepada Tuhan. Lalu pertolongan datang dan dia terhempas ke pinggir pantai. Selepas kejadian itu, maka dia berubah total. Dia menjadi yakin akan keberadaan Tuhan, sangat yakin. Dia tak tahu banyak tentang ilmu ketuhanan, tetapi yakin. Ini adalah jalan kesadaran, pengenalan kepada kewujudan Tuhan lewat kesadaran (iman).

Jalan kedua, adalah melalui ilmu. Misalnya seseorang belajar mengenai ketuhanan kepada seorang arif yang paham. Sampai orang tersebut jadi mengenal kewujudan Tuhan, jadi tahu secara keilmuan bahwa benar Tuhan itu ada dan “hadir” dalam kehidupan kita. Lalu hidupnya perlahan berubah karena cara pandangnya berubah lewat ilmu.

Dua jalan yang saling melengkapi.

Jalan kesadaran membuat seseorang menjadi kokoh…peristiwa hidup yang mengguncang, dan berhasil dilalui mereka menjadi wasilah sehingga mereka mendapatkan “iman”, rasa percaya yang tebal sehingga yakin akan kewujudan Tuhan. Akan tetapi, tanpa ilmu lanjutan maka masih bisa bergaduh. Karena semata iman tanpa ilmu membuat mereka sulit mengerti tentang hal-hal yang lebih pelik.

Sebaliknya jalan ilmu, relatif lebih cepat membuat seseorang jadi kenal dengan Tuhan, dan secara keilmuan menjadi tahu bahwa Allah-lah pemilik semua ini, Allah “hadir” dalam kehidupan kita. Tetapi tanpa bekas yang dalam, maka ilmu cepat menguap. Berbeda antara sekedar tahu dan orang yang merasakan.

Bagi yang sudah melalui jalan ilmu, tetapi belum mendapatkan impact kesadaran yang membekas, maka kajilah kembali ilmu dan tingkatkan peribadatan sampai datang kesadaran yang memberi bekas.

Bagi yang sudah mendapatkan kesadaran, guncangan yang memanggil, maka carilah orang-orang yang mengerti akan ilmuNya. Karena guncangan yang memanggil biasanya adalah awalan untuk melangkah lebih jauh.

Sehingga menjadi komplit dua keping dalam satu mata uang.

“…..Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat…” (QS. Al Mujadalah Ayat 11)

BLOG SAYA MATI, TAPI ALHAMDULILLAH MASIH ADA SATU LAGI

Qadarullah, situs debuterbang.com terpaksa harus berpulang ke rahmatullah, hehehe. Sebabnya adalah karena beberapa waktu lalu saya sempat kena covid, selepas covid kebetulan juga banyak sekali amanah di kantor yang bertubi-tubi sehingga tidak sempat lagi untuk ngurusin blog. Walhasil blog berbayar di debuterbang.com expired dan mati karena lama sekali tidak dibayar.

Sempat saya kontak kembali penyedia layanannya, tetapi untuk reaktivasi ternyata kena-nya mahal juga, yo wis akhirnya saya putuskan untuk tidak memperpanjang yang debuterbang.com dan biarlah terarsipkan pada yang debuterbang.wordpress.com saja. Gratisan tapi alhamdulillah masih rapih tertata.

Kecenderungan menulis, pun….saya perhatikan sekarang ini sudah semakin berkurang. Barangkali karena faktor U. usia belum tua, tetapi sudah malas menulis panjang dan berbunga-bunga, hehehehe.

Akan tetapi, teringat kembali dengan sebuah cerita dimana seorang sahabat di jaman Rasulullah SAW yang ditegur oleh Rasulullah SAW, karena sahabat ini terlalu tekun dalam tirakat. Kerjanya ibadah terus, sampai tidak terurus. Mirip-mirip jadi pertapa. Sampai istrinya komplen.

Dikatakan oleh Rasulullah SAW, bahwa istrinya punya hak terhadap beliau (terhadap sahabat itu), tubuhnya punya hak terhadap beliau, dst…… yang dipungkasi dengan wejangan bahwa tidak ada kependetaan / kerahiban di dalam islam. Kehidupan seperti pertapa, bukan jalannya islam.

Kehidupan kerahiban, bukan tidak bisa meningkatkan spiritualitas seseorang. Sering kita lihat malah sangat bisa meningkatkan spiritualitas seseorang. Tetapi jalan yang diajarkan Rasulullah adalah bukan lewat pintu kerahiban, melainkan lewat aktivitas dalam keseharian, dan berkecimpung dalam keseharian manusia.

Maka itu, dulu sekali saya sempat bingung kok sepertinya islam kurang banyak menekankan spiritualitas ya? Ternyata saya yang kurang paham, bukan kurang banyak, melainkan islam -dengan jalan yang bukan kerahiban- menekankan manusia untuk berkecimpung dalam hidup. Dalam pemerintahan, perdagangan, warna-warni kehidupan keluarga, pekerjaan, dst….. yang mana lewat andil dalam keseharian itulah manusia bisa mendapat hikmah, dan menjadi jalan juga mendekat pada Tuhan.

Kalau kata Rumi, jalannya Nabi Isa as. adalah jalan kerahiban, tetapi Rasulullah SAW tidak lewat jalan kerahiban.

Singkat kata…. karena teringat dengan cerita itu akhirnya saya memutuskan blog yang satu lagi ini (yaitu debuterbang.wordpress.com) jangan sampai mati-lah. Sebisa mungkin terus hidup meskipun tulisannya sedikit-sedikit dan pendek. Karena, jalan yang bukan jalan kerahiban ini, dekat sekali dengan keseharian kita, dan saya perhatikan belum banyak yang menuliskannya.

Bahwa spiritualitas bisa ditemukan dalam dunia kerja yang sepertinya sangat duniawi dan profan. Bisa lho… dalam keseharian yang dekat sekali dengan kita ini, hanya saja jarang orang menuliskannya.

Maka sebagai ikhitiar, semoga bisa terus menulis sebagai salah satu corong spiritualitas dari keseharian yang biasa, alhamdulillah masih ada satu blog lagi yang masih nyala, dan semoga Allah merahmatinya.

Aamiin

MENYUSURI RUANGAN KEHIDUPAN (KILAS BALIK 2021)

Tidak terasa sudah masuk di tahun 2022, dan besok senin kebetulan pula di kantor sudah mulai kembali WFO alias work from office, masuk kantor kembali seperti biasa setelah hampir dua tahun bekerja full dari rumah semasa pandemi.

Sebelumnya sama sekali tidak pernah terpikir akan berada dalam salah satu fase historis ummat manusia, saya rasa di masa depan mungkin akan masuk pelajaran sekolah ni mengenai pandemi tahun 2020an, hehehe.

Mengenang tahun yang telah lewat, saya menyadari satu hal bahwa banyak keinginan-keinginan yang alhamdulillah terkabulkan meskipun kadang-kadang permintaan itu remeh temeh, tetapi ternyata seiring berjalannya waktu kejadian-kejadian di masa depan ternyata sering menjawab pertanyaan-pertanyaan dan kebutuhan kita di masa lalu.

Mulai dari hal yang remeh semisal pengen bisa main gitar. Dulu saya selalu terpesona dengan orang-orang yang dianugerahi darah seni. Misalnya kemampuan melukis, kemampuan bersyair, dan termasuk kemampuan memainkan alat musik. Bagi saya, saya melihat seni sebagai media seseorang untuk berekspresi dan menyampaikan pesan, dan sejak dulu yang saya paling tidak bisa adalah musik, hal sesederhana gitar pun saya ndak bisa.

Tapi alhamdulillah dengan cara yang unik, akhirnya bisa. Bisanya ya sekedar bisa aja, bukan ahli. Awalnya ya karena pandemi ini, gitar yang dulu sempat dibeli akhirnya dicoba-coba untuk mengisi waktu senggang, dan dengan kemurahan hati orang-orang yang sharing di youtube akhirnya bisa metik gitar sedikit-sedikit.

Barangkali ini hal yang remeh, tapi bagaimanapun hal ini buat saya pribadi berkesan, karena sewaktu saya sangat ingin bisa main gitar itu, saya berdoa, ya…setengah menggumam dalam hatilah, ya Allah…. saya ini ndak bisa sama sekali main alat musik, coba kalau bisa gitar dikit-dikit.

Waktu itu tak lama kemudian saya tertumbuk pada tulisannya Rumi dalam “Fihi ma Fihi” yang kurang lebih intinya adalah Rumi menceritakan dulu Rasulullah SAW juga pernah terpukau pada kemampuan sastra orang-orang arab, tetapi setelah keinginannya pupus, malah Allah ganti dengan yang lebih tinggi yaitu Al Qur’an yang susastra-nya mengalahkan syair-syair arab.

Jadi bagi saya dulu itu bisa main gitar itu adalah hal yang sama sekali musykil, lha wong ndak ada waktu karena dihajar kesibukan kantor, akhirnya saya kaya yang….yo wis lah…..tapi ternyata ada babak pandemi yang memberikan kesempatan hingga saya bisa main gitar untuk ngisi senggang dan sekedar mencairkan suasana di rumah. Pengabulan yang berkesan bagi saya untuk hal yang dalam tanda kutip remeh.

Termasuk hal lain yang dulu sempat juga tergumamkan dalam hati, antara lain pengen latihan beladiri. Karena selain seni, maka beladiri adalah hal yang saya sukai juga sebagai wadah untuk berekspresi. Ndilalah kemudian dengan jalan pandemi ini maka lebih sering juga punya kesempatan berlatih di rumah, dan akhirnya kembali lagi masuk mendaftar latihan beladiri pada lajnah / dojo tempat dulu pernah ikut jaman masih kuliah, rupanya ada satu tempat latihan di depok, akhirnya latihan kembali dan bisa mensyukuri nikmat sehat dengan bergerak.

Ini juga sebenarnya hal yang dalam tanda kutip remeh, tetapi buat saya ini luar biasa, karena saya menilik kecenderungan diri sendiri yang “males” kalau keluar rumah, sepertinya ga mungkin bisa latihan beladiri lagi, tetapi ternyata ada jalannya.

Hal lainnya juga yang kemudian membuat saya mensyukuri tahun 2021 adalah karena dulu sempat bosan sekali blogging. Saya membatin ya Allah, inikan blogging ini idenya dari Engkau, bisa tidak ada hal baru yang saya sama sekali belum pernah coba dan tidak saya bayangkan. Ternyata di tahun lepas; kepikiran ide nge-YouTube. Dari yang sama sekali tidak ngerti videografi, eh ternyata menarik juga, ada wadah berekspresi lainnya. Media yang lain selain dari blog ini, dan ternyata memang ide itu dari DIA, kita hanya menerima saja.

Banyak hal-hal yang lainnya yang juga kalau dikenang-kenang akan membuat kita bersyukur dengan tahun yang sudah lewat, karena ternyata kalau diingat-ingat maka tahun-tahun yang berjalan itu seringkali menjadi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan kita sendiri. Mulai dari masalah karir, masalah remeh-temeh, sampai hal-hal yang berkaitan dengan spiritualitas sebenarnya sering terjawab dalam keseharian kita sendiri. Kita saja yang sering tidak sadar bahwa itu pengabulan.

Yang saya bisa simpulkan dari tahun-tahun yang sudah lalu adalah bahwa do’a sebagai sarana interaksi dengan Tuhan akan membuat hidup kita berwarna. Satu hal yang penting sekali saya baru sadari, apabila hidup sering terasa “tawar” saja tanpa ada warna, barangkali karena jarang berdo’a.

Lewat berdo’a kita sudah tentu menjalankan aktivitas “ingat” Allah atau dzikrullah. Dengan berdo’a kita menunaikan kehambaan kita karena mensifati DIA sebagai yang Maha Memberi, Mengabulkan do’a. Kata pak Ustadz, do’a itu adalah inti peribadatan.

Dengan berdo’a maka hidup menjadi lebih punya warna. Ada harapan-harapan, ada kerendahan hati, dst…. sehingga hidup terasa ada warnanya.

Saya baru menyadari, umpama sebuah rumah… jika level “keridhoan” itu diibaratkan ruang utama di tengah rumah, maka untuk sampai ke ruang utama itu mau tidak mau harus lewat ruang depan, yang mana ruang depan ini adalah ruangan penuh warna dengan do’a-do’a dan harapan. Seseorang tidak bisa mencapai level keridhoan yang “tidak perlu apa-apa” tanpa melewati ruangan depan kehambaan dan menzahirkan firmanNya yang menyuruh kita meminta (mintalah, maka Aku kabulkan).

Dan lagi, setelah menyadari bahwa segala hal sebenarnya dariNya, termasuk ide-ide, termasuk keinginan-keinginan, maka berdo’a sebenarnya mengembalikan keinginan itu kepada pemberiNya, yang memang mengajarkan kepada kita sifat-Nya yang Maha mengabulkan do’a. Sebenarnya saat ada keinginan berdo’a maka itu adalah wadah dari pemberian yang sudah disiapkan olehNya, karena baik pemberian maupun keinginan, dua-duanya DIA sendiri yang menuliskannya.

Selamat memasuki tahun yang baru, harapan saya pribadi di tahun ini bisa lebih baik lagi, bisa berinteraksi lebih banyak lagi denganNya dengan segala keterbatasan yang manusiawi dan suka khilaf ini. Dan ibarat perjalanan itu, dari ruang depan, menyusuri kehidupan sampai ruang utamaNya.

MOBIL TESLA DAN TAKDIR YANG BIJAKSANA

Mantan manajer di kantor saya, setelah tidak lagi bekerja di Indonesia pulang ke kampungnya di USA dan membeli sebuah mobil elektrik yang sangat terkenal yaitu mobil Tesla. Mobil elektrik canggih karyanya Elon Musk yang terkenal itu.

Yang keren dari mobil Tesla ini salah satunya adalah kemampuan mobil ini untuk mengemudi secara otomatis. Jadi penumpangnya tinggal duduk santai saja menikmati suasana, dimana mobilnya jalan sendiri ke tempat tujuan yang sudah di-set, bisa menghindari kemacetan, menghindari Rintangan rintangan di sekitarnya.

Melihat mobil Tesla tentu saja dalam diri saya berdecak kagum, canggih benar pencapaian manusia.

Tapi ndilalah saya jadi teringat bahwa duduk dalam mobil tesla yang bergerak otomatis, itu hampir sama dengan duduk dalam kehidupan yang sudah di set untuk berjalan mengikuti rencana takdir, yang juga otomatis.

Untuk percaya bahwa kehidupan ini sebenarnya berjalan otomatis sesuai dengan takdir memang benar-benar tantangan tersendiri. Maka wajar sekali jika “Percaya Takdir” menjadi pamungkas dari rukun Iman. Yang merupakan pilar kepercayaan dalam Islam.

Untuk itulah, disaat sedang bingung dengan arah kehidupan, saya sering kali melihat balik kehidupan saya sendiri, lalu saya runut kebelakang. Ternyata memang banyak sekali cerita di mana saya sendiri sama sekali tidak punya gambaran akan apa yang akan terjadi selepas salah satu fase dalam hidup saya, tapi setelah sampai masanya baru kelihatan kalau semuanya punya urut-urutan yang nyambung dan terkait satu sama lain.

Misalnya… selepas saya sekolah SMA saya betul betul tidak tahu mau ke mana, apa jurusan yang tepat buat saya kuliah. Maka memilih jurusan kuliah bagi anak SMA dari salah satu kampung di Sumatera adalah kebingungan tersendiri. Dan akhirnya salah satu alasan saya memilih mengambil jurusan kuliah saya adalah alasan yang cukup menggelikan, yaitu karena saya waktu bimbel di Jawa menumpang tinggal di sebuah kontrakan seorang mahasiswa geologi yang sangat baik, dan aktivis.

Maka saya pilih lah jurusan Geologi sebagai salah satu jurusan tempat saya kuliah, alasannya sama sekali tidak logis, hanya karena yang numpangi kontrakan waktu itu orangnya baik, gitu aja.

Lalu masuk kuliah…Setelah saya kuliah saya pun menemukan banyak keanehan karena kuliahnya tidak seperti ekspetasi saya. Kemudian dalam perkuliahan pun saya bingung mau ke mana selepas ini.

Ndilalah kemudian setelah lulus diterima bekerja di salah satu perusahaan service migas yang sebenarnya tidak terlalu berkaitan dengan mata kuliah geologi saya.

Pada saat saya bekerja waktu itu masih bekerja di lapangan di lepas pantai di dalam hutan saya pun sering merenung ini ke mana arah hidup saya selepas ini, saya mau ke mana? karena saya merasa tidak terlalu cocok dengan tempat saya bekerja. Saya ingat sekali waktu itu di lepas pantai sering nengok laut malam sambil membatin, mau kemana hidup ini ya?

Ternyata kemudian setelah itu dari lapangan dipindahkan ke kantor. Ilmu dari lapangan yang waktu dulu itu terasa random ternyata bermanfaat untuk melakukan pekerjaan kantoran. Pengalaman lapangan meletakkan dasar yang bagus untuk ilmu di kantor.

Di kantor pun kemudian dipindah sana sini dari yang tadinya sangat teknik menjadi hal yang lebih manajerial. Belajar banyak hal yang jauh semakin random  lagi dari basic ilmu saya tapi ternyata semua itu kemudian mengantarkan saya menjadi junior manager dalam posisi yang sama sekali tidak secara langsung berkait dengan jurusan kuliah tetapi ada puzzle-puzzle yang nyambung dan potongan-potongan ilmu itu berkaitan.

Saya kenangi kembali lembar demi lembar perjalanan yang seringkali kita tidak mengerti apa yang akan terjadi di babak berikutnya, sampai sekarang pun masih sering bingung kenapa ya ada fase hidup yang ini, ini kaitannya apa ya di masa depan?

Tapi teringat wejangan seorang guru yang arif, kalau kita bisa “mengerti” tentang Tuhan (maksudnya kita bisa paham rencana Tuhan) ya berarti kita sudah sama taraf dengan Tuhan. Karena rencana Tuhan itu berkaitan dalam urutan-urutan yang panjang dan kompleks dan tidak mungkin kita bisa mengerti -seutuhnya-.

Ya memang dipikir-pikir tugas kita bukanlah menyibak rahasia takdir, tetapi untuk percaya saja bahwa takdir itu sudah tersusun rapih dan semua berhikmah. Entah terkuak sekarang, entah nanti. Sehingga dengan itu bisa ridho.

Ya begitulah, saat saat di mana kadang kadang saya nggak ngerti setelah ini mau ke mana, apa yang harus diambil, langkah berikutnya apa, nah saya jadi teringat logika mobil Tesla itu.

Wis Bismillah saja, belajar merasakan bahwa kita ini hidup menumpang dalam mobil takdir yang bergerak otomatis mengikuti program yang udah diset. Supaya tidak terlalu khawatir. Karena perancang takdir sudah jauh lebih canggih. Pun mobil Tesla juga dirancang oleh Sang Maha Mengatur. Jadi ya Allah…. Saya ndak paham mau kemana ini kehidupan, tapi saya menumpang di “mobil” takdir Engkau, dan Engkaulah yang Maha Bijaksana.



.*) IMAGE URL

MEMAKNAI SELF CRITIC SECARA POSITIF

Ada satu buku yang menarik yang sedang booming saat ini judulnya adalah The courage to be disliked.

Buku ini menceritakan tentang percakapan seorang anak muda dengan seorang filusuf tua yang bijak.

Ada banyak tema yang dibicarakan dalam buku ini tetapi ide besarnya adalah membahas mengenai Adlerian psychology. Sebuah aliran psikologi yang berbeda sekali dengan psikologi Sigmund Freud.

Ada satu chapter yang menarik buat saya di mana mereka membicarakan mengenai perasaan inferior yang ditimbulkan dari inner critic. Kritik terhadap diri sendiri.

Kita pakai contoh saja biar nggak mbulet. Katakan lah ada seorang bernama Hasan, Hasan ini dia punya hobi atau minat dalam melukis misalnya. Saat Hasan melukis kemudian dari dalam dirinya seolah-olah ada kritik, ada perasaan yang mengatakan bahwa “wah lukisanmu ini kurang bagus komposisi warnanya kurang mantap,  metode kamu melukis juga sepertinya tidak tidak uptodate lah, tema lukisannya kok itu terus?” hal itu kemudian membuat Hasan akhirnya berhenti melukis karena merasa dirinya tidak pernah cukup bagus.

Self Critic,  yang dialami Hasan adalah otokritik yang membuat dirinya menjadi inferior atau tidak berani untuk berbuat sesuatu, tidak berani berkarya, karena merasa dirinya tidak ideal.

Padahal kritik di dalam dirinya itu harusnya dimaknai secara lebih tepat sebagai cambuk baginya untuk meningkatkan kemampuan-nya, misalnya karena merasa kurang bagus dalam melukis, maka jadikan dorongan untuk belajar melukis kepada ahlinya, dorongan untuk mempelajari seni lebih mendalam kepada ahlinya, belajar macam-macam aliran lukis dan seterusnya.

Saat self critic, kritik dalam diri sendiri tidak dimaknai sebagai dorongan untuk menumbuh kembangkan diri mengoptimalkan potensi diri menjadi lebih lebih baik maka Self Critic akan dapat menghancurkan diri kita sendiri.

Saya teringat dalam salah satu bahasan kondisi kejiwaan dalam literatur Islam ada yang disebut dengan Nafsu Lawwamah.

Nafsu Lawwamah ini jika diterjemahkan secara literal ya artinya itu, kurang lebih jiwa yang selalu melakukan otokritik, self critic, kritik terhadap dirinya sendiri. Kenapa kamu nggak sholat tepat waktu? kenapa kamu nggak berjamaah di masjid? kenapa kamu nggak ngasih Infaq harusnya kamu bisa berbuat lebih baik dari ini dan seterusnya dan seterusnya.

Tentu saja semua kritik itu bukan berupa suara seperti orang ngomong yang kita dengar dalam diri, tidak begitu, tetapi dia semacam kesadaran saja, semacam perenungan ke dalam yang membuat kita merasa kayak…. waduh kurang optimal ni saya, waduh seharusnya begini wah harusnya begini.

Kondisi jiwa yang selalu melakukan kritik terhadap diri sendiri ini jika tidak di tindak lanjuti dengan langkah nyata, tidak menjadikan kritik itu sebagai cambuk untuk berbuat sesuatu, maka nanti dirinya akan mbulet dan malah menjadi inferior dan menyesali keadaan diri. Menjadi rendah diri. Menilai rendah kepada dirinya sendiri.

Kritik terhadap diri sendiri itu bagus, selama dia kita jadikan sebagai bahan bakar untuk melakukan langkah produktif dalam dunia nyata. Kita maknai sebagai semacam parameter di dashboard mobil… wah saya baru melaju 40 km/jam, sebenarnya bisa 80 km / jam. Kalau kita merasa diri kita kurang bagus dalam suatu hal kurang punya pengetahuan dalam satu hal itu artinya sebagai sebuah alarm supaya kita belajar mengenai itu kepada orang lain, supaya kita memperdalam suatu hal yang kita kurang pengetahuan tentang itu, tetapi jika dipikirkan saja ……jika di renungkan saja tanpa menjadi langkah kongkrit maka dia bukan berbuah sesuatu yang positif tetapi dia malah menghancurkan diri sendiri dan menumbuhkan Belantara penyesalan dalam jiwa kita.

TENTANG KOPI, LUKISAN, DAN HIDUP YANG MEMBUMI

Sudah lama tidak ngobrol ngalor ngidul di blog. Sore ini kembali tergerak untuk menulis lagi, karena menulis memang termasuk salah satu terapi yang ampuh untuk mengurai keruwetan pikiran, hehehe.

Tadi pagi, berkesempatan duduk ngopi-ngopi dan ngobrol dengan seorang rekan yang sedang menyelesaikan studi S3-nya. Beliau mengambil bahasan seni, “Art”, Bidang seni yang ditekuni rekan saya ini adalah seni lukis dalam kaitannya dengan terapi untuk kesehatan mental.

Saya mendengarkan dengan seksama, dimana kawan ini menceritakan kembali tentang salah satu psikolog ternama yang sering kita dengar, yaitu Carl Jung.

Si Pakde Carl Jung ini, mempunyai sebuah teori bahwa di kedalaman kesadaran manusia itu tersimpan semacam memori yang turun temurun dari generasi ke generasi, sehingga apa yang terbawa dalam -misalnya- mimpi, jika dia berkait dengan simbol-simbol tertentu maka mimpi itu bisa ditafsir dengan mengaitkan simbol itu dengan makna simbol itu sepanjang sejarah.

Nah kalau dikaitkan dengan seni, misalnya seni lukis, saat seseorang melukis dengan kondisi yang sangat dalam, bisa jadi lukisannya tanpa dia sadari mengandung simbol-simbol atau pola yang menggambarkan kondisi psikologinya, begitu jika dikaitkan dengan teori pakde Carl Jung, dan harapannya kemudian -oleh kawan saya ini- hasil analisa itu bisa dikaitkan dengan kesehatan kejiwaan, mengetahui kondisi psikologi dan bisa mengetahui apa yang baiknya dilakukan jika ada masalah.

Menarik sih, saya katakan ke teman saya itu bahwa sebenarnya ide ini mirip saja dengan ide “menulis sebagai terapi”. Saya sendiri terbiasa menulis blog sejak jaman kuliah, sekitar 19 tahun lalu.

Tanpa saya sadari menulis menjadi terapi sendiri bagi saya, untuk mengurai keruwetan pikiran. Dengan menulis, alhamdulillah jadi bisa menjaga jarak mental antara saya dan fikiran saya, lalu secara objektif membaca ulang cara pandang saya sendiri. Yang menarik adalah melihat bagaimana saya dulu ternyata termasuk alay juga, hahahaha…. Dan menyaksikan pertumbuhan cara pandang yang dulunya seorang yang sangat literalis, saklek, dominan menjadi lebih agak-agak sufistiklah (suka filem, hehe) dan lebih senang “menonton”.

HIDUP YANG BIASA (LAKONONO ALIAS JUST DO IT)

Kembali ke laptop. Terlepas benar atau tidak analisa pakde Carl Jung, biarlah para psikolog yang mendebatnya. Tetapi kepentingan praktisnya bahwa berkarya atau berbuat, bisa membantu kita mengurai kebuntuan dan menjadi terapi, saya rasa sangatlah benar.

Teringat suatu hadits, dimana para sahabat bertanya pada Rasulullah kalau semua dalam hidup ini sudah tertakdir, lalu buat apa berusaha? Rasulullah mengatakan agar teruslah berusaha, atau teruslah berbuat / amal, karena setiap orang akan dipermudah sesuai dengan apa yang sudah tertulis untuknya.

Saya rasa, bisa juga diartikan untuk jangan banyak mikir, karena kebanyakan mikir malah mbulet. Lakukan saja, beramal, just do it. Supaya dengan karya itu maka kebuntuan akan terurai.

TETAPLAH HIDUP DI BUMI

Dengan lakonono, just do it, berbuat sesuatu, akan membuat kita tetap membumi. Saya katakan kepada teman saya itu, bahasan psikologi, filosofi hidup, dll ini memang -bagi orang yang tertarik- adalah bahasan yang sangat menarik. Tetapi harus juga berhati-hati agar kita tetap hidup membumi.

Ilmu pengetahuan, knowledge, adalah seperti hutan belantara. Mengasikkan memang, tetapi semakin kita masuk ke dalamnya semakin kita akan tersesat dalam belantara ilmu dan teori, karena ilmu itu banyak sekali dan tidak tahu dimana ujungnya.

Salah satu hal yang membuat kita tetap hidup membumi dan tidak terlalu melangit adalah jika kita menyibukkan diri dengan karya dan perbuatan.

Salah satu doa yang sering kita lafazkan saat mau belajar adalah Robbi dzdni ilman…. Dst. Yang terjemah bebasnya adalah Rabbi, anugerahkan aku ilmu, tambahkan kepahaman, dan anugerahkan amal (perbuatan) yang makbul (diterima).

Dari situ kita menjadi tersadar bahwa syarat suatu ilmu menjadi bermanfaat adalah apabila ilmu itu diiringi dengan kepahaman, dan berbuat menjadi perbuatan praktis kita sehari-hari. Applicable kata orang barat.

Dan untuk applicable ini maka dia harus dikunyah dan diterjemahkan dalam bahasa yang sederhana, dan dilakukan saja.

Seperti para sahabat yang memikirkan tentang bahasan takdir yang mendalam lalu menjadi bingung juga, tetapi kebingungan itu distop oleh Rasulllah dengan mengatakan “tetaplah beramal”, alias lakonono saja, berbuat saja. Karena dengan konsisten berbuat, menghindarkan kita dari terbelit dalam belantara ilmu.

Wah… sore ini menjadi melegakan kembali buat saya. Karena pertama saya menjadi kembali menulis setelah sekian lama tidak menulis. Dan blognya menjadi vakum.

Kedua saya baru menyadari mungkin juga yang membuat saya berhenti menulis adalah kebanyakan mikir, padahal… kebaikan menulis yang utamanya adalah untuk diri pribadi kita sendiri, untuk menyederhanakan fikiran kita sendiri. Bukan untuk orang lain.

Alhamdulillah….. mari kita ngopi dulu sore ini

UNTUK ORANG-ORANG YANG TERLUKA DALAM PERTEMPURAN HIDUP

Seorang guru pernah mengatakan bahwa orang yang terjebak dalam dosa itu ibarat orang terluka di medan tempur. Sebagai sesama pejuang (dalam kehidupan), kita harus selamatkan mereka yang terluka dan bawa ke medic untuk diobati, supaya mereka bisa bertempur kembali (menjalani kehidupan). Dengan begitu, pandangan kita terhadap pendosa bukanlah pandangan benci, melainkan rasa ingin membantu.

Saya teringat dengan analogi ini, karena melihat seliweran berita di lini masa media sosial, seorang komika terkenal sedang tersandung kasus Narkoba. Biasanya kasus-kasus begini tidak menarik perhatian saya, tetapi yang satu ini membuat saya tertegun karena biasanya kalangan mereka diidentikkan dengan orang-orang yang bahagia, lucu dan seperti tidak bermasalah. Hepi-hepi saja menjalani hidup.

Tetapi nyatanya, dalam balutan tingkah yang lucu dan hepi itu, ada jiwa yang merasa sepi dan kebingungan mencari makna hidup. Saya tengok ini banyak sekali contohnya. Mulai dari lingkungan sekitar kita sendiri. Anak-anak muda yang gamang dengan makna hidup mereka, apalagi dalam kesibukan perkantoran. Sampai artis-artis besar yang seperti selalu hepi dan ceria, tetapi dalam waktu-waktu tertentu semisal talk show yang sangat personal dan dalam; mereka mengakui akan kehampaan diri mereka.

Kehampaan dirinya itu ya tidak harus se-extrim menjadi candu narkoba atau apa, bisa saja terlihat biasa-biasa saja, tetapi dalam dirinya mencari-cari dan bingung sebenarnya saya ini mau kemana ya? Tetapi mereka tidak menemukan ruang untuk bercerita dan tidak menemukan tempat yang menjawab kebingungan-kebingungan itu. Jadilah rasa hampa dan pencarian itu ditutupi dengan rasa bahagia dan balutan hepi yang semu.

Kalau dalam bahasan-bahasan psikologi, kita baca bahwa pencarian makna hidup ini memang sering dialami orang-orang yang hidup seperempat abad. Karena memang masanya mereka mencari-cari arti hidup. Orang bilang hal ini dengan istilah QUARTER LIFE CRIRIS

QUARTER LIFE CRIRIS

Secara sederhana, Quarter life crisis itu adalah krisis identitas, krisis makna, yang dialami oleh orang dengan usia sekitar 20-30an tahun atau atau 30tahun keatas sedikit.. Tidak ada angka pasti, tetapi biasanya anak muda dalam usia segitu sudah mulai bertanya-tanya hal yang mendalam, semisal “saya ini mau ngapain sih?”, “hidup ini ngapain sih?”, “ini saya kerja disini kok kayanya bukan ini yang saya mau?”, “apa iya saya akan menghabiskan sisa waktu saya dengan kerja pergi pagi pulang malam begini terus?” Dan pertanyaan yang semacam itu.

Dan pertanyaan itu memang terlihat filosofis, tetapi penting untuk menjawab kegamangan manusia dalam hidup. Sebagian kalangan menjawab dengan sederhana, bahwa tugas manusia itu untuk beribadah kepada Tuhan. Ya memang betul, tetapi bagi orang-orang yang masuk dalam fase quarter life crisis seperti ini, kegamangan itu tidak bisa dijawab sebatas itu saja. Harus ada penjelasan yang lebih dalam yang membuat mereka mengerti hubungan antara Tuhan dan ciptaan, dan mengerti tentang kehidupan ini dan peranan mereka. Biasanya harus agak mendalam jawabannya dan penjelasannya.

TASAWUF

Saya pribadi di masa Quarter Life Crisis yang saya alami, menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu lewat tasawuf. Tasawuflah yang menawarkan jawaban sangat mendasar tentang pertanyaan-pertanyaan mendalam saat saya mengalami krisis makna itu.

Dengan tasawuflah alhamdulillah saya menjadi menyadari bahwa spritualitas agama tidaklah sama dengan ilmu-ilmu personal development ala barat, pun tidak sama dengan ilmu-ilmu pengembangan diri ala spiritualitas instan yang banyak digemari orang perkotaan. Karena tasawuf mengajarkan mengenal Allah, Awaluddin makrifatullah.

Setenang-tenangnya ketenangan yang dibentuk lewat ilmu-ilmu personal development dan spiritualitas instan semisal mengendalikan fikiran dll masih akan kalah tenang dengan ketenangan yang sebenarnya karena bersandar kepada Tuhan.

Awal-awal saya belajar tasawuf. Memang masih gedebag-gedebug dan kurang apik. Waktu itu anak baru lahir dan saya baru gandrung-gandrungnya ke tasawuf. Pergilah saya mencari kajian-kajian yang bisa mengajarkan saya tasawuf. Mulai dari kajian thoriqoh tertentu, kajian hikam, kajian sholat, kajian yang agak-agak ala jawa. Saya pelajari Demi menjawab kegamangan saya.

Dalam perjalanan itu, saya meninggalkan istri di rumah sendirian sama anak yang masih kecil. Malam-malam. Karena pengen cari kajian. Saya merasa istri saya kok tidak paham pertanyaan yang filosofis. Sedangkan istri saya merasa sebaliknya, saya menjadi aneh karena tidak realistis. Yang realistis bagi istri saya adalah ini ada anak baru lahir, maka temeninlah istri jaga anak malam-malam. Itu dalam pandangan istri saya.

Maka salah paham sering terjadi. Lama terjadi salah paham akhirnya saya mengalah. Saya tidak lagi meninggalkan istri malam-malam dengan anak yang masih kecil. Walhasil saya jadi tidak bisa ikut kajian. Hati saya dongkol waktu itu.

Selang berapa bulan, akhirnya saya sudah menerima dan pasrah. Tapi terjadi hal yang tidak saya kira. Meski tidak menghadiri kajian, alhamdulillah bisa menjadi paham dengan isi kajian kajiannya, dan akhirnya saya mengerti bahwa kita tidak “mencari yang jauh”, kita mencari yang Dekat dan lebih dekat dari urat nadi.

Jadi yang paling fundamen adalah mengenal Tuhan terlebih dahulu. Awaluddin Makrifatullah.

Sayangnya banyak orang-orang yang saya lihat juga gamang dalam mencari makna hidup ini, mereka memulai dari mencari yang jauh.

Tidak ada yang lebih menjawab pertanyaan mengapa semua ini terjadi? Melainkan penjelasan mengenai takdir. Semua sudah tertakdir. Sebagian ulama menjelaskannya dengan penjelasan sifat, bahwa segala yang terjadi adalah menjelaskan mengenai sifat-sifatNya. Akan tetapi ada penjelasan yang lebih mendalam lagi saya temukan lewat seroang guru, bahwa segala sifat-sifat yang kita kenal itu berlaku pada dzat-ciptaanNya, yang mana hakikat segala-galanya adalah dzat-ciptaanNya. Yang bergerak patuh terhadap pre-destination, yang menceritakan tentang DIA, yang semuanya berhikmah.

Setelah mengetahui mengenai hakikat kehidupan ini, baru mengerti bahwa hubungan dengan Tuhan bukan milik orang-orang yang piawai dalam tekstual keagamaan semata. Melainkan milik semua orang, karena af’al Tuhan berlaku dalam kehidupan kita setiap saat.

BERKECIMPUNG DALAM KEHIDUPAN

Saya bertemu salah satu tulisannya Rumi, yang senada dengan bahasan guru kami, yaitu tentang “hidup seperti biasa”.

Kata Rumi, ada dua jalan spiritual. Yaitu jalan seperti Isa alaihissalam dengan menjadi pertapa atau rahib yang tidak menikah. Meninggalkan dunia.

Tetapi ada satu lagi yaitu jalan Muhammad SAW yaitu dengan tidak meninggalkan dunia, tetapi dengan mencebur didalamnya dan mensucikan diri melaluinya. Rasulullah SAW menikah dan mengatakan bahwa menikah adalah separuh agama, karena dengan menikah itulah maka spiritualitas dan kedewasaan seseorang terangkat. Lewat berbagai pernak pernik didalamnya.

Jadi, jangan musuhi orang-orang terdekat kita. Justru lewat merekalah kita menyucikan diri, dan menjadi terangkat spiritualitasnya.

Kita menjadi tahu bahwa didalam diri “mereka” dan kita, ada jiwa yang sama. Sama-sama mencari makna hidup itu. Sama-sama mencari Tuhan.

Dan kita juga jadi paham Rasulullah ada mengatakan hadits bahwa siapa menjenguk orang sakit, maka seperti menjenguk-Nya. Maksudnya adalah di sekitar kita inilah banyak orang-orang yang harus kita “jenguk” jiwanya.

Dan jalan spiritualitas islam itu bukan mengasingkan diri menjadi pertapa, tetapi aktif dalam kehidupan dan berbuat untuk sekeliling kita. Jalan Rasulullah adalah jalan yang itu.

Ada banyak cerita dimana Rasulullah SAW mengatakan pada sahabat untuk meninggalkan kerahiban. Karena jalan spiritualitas beliau Rasulullah adalah mencebur dalam dunia dan mensucikan diri melaluinya.

Jalan kerahiban, itu memang bisa mengangkat spiritualitas seseorang, dan memang ada. Misalnya jejak-jejak agama Ibrahim yang kita lihat dalam sebagian agama timur. Mereka mengangkat spiritualitas dengan menjadi rahib atau pertapa.

Tetapi jalan islam adalah khoirunnas anfauhum linnas. Berpartisipasi aktif dalam kehidupan dengan tidak meninggalkan hidup seperti pertapa. Justru dengan kehidupan inilah kita menemukan pelajaran-pelajaran.

Jalan Rasulullah adalah jalan yang agak lama tetapi lebih selamat.

Jadi cintailah sekeliling kita, orang-orang yang terluka, jiwa-jiwa yang juga mencari-cari jawaban akan pertanyaan-pertanyaan mendalam di batin mereka, dan juga keluarga-keluarga kita, karena lewat merekalah kita menyucikan diri dan terangkat spiritualitasnya. Alhamdulillah.

EVOLUSI KEBAHAGIAAN

Dengan kemampuan editing video ala kadarnya, bagi saya mengedit video dengan narasi yang panjang dan cerita ; adalah lebih memakan waktu ketimbang posting video seru-seruan saja semisal video jalan-jalan 😁.

Tetapi keinginan sharing hal-hal yang agak lebih dalam dari semata jalan-jalan, seperti sulit diabaikan.

Jadilah sore ini belajar utak atik video sampai malam dan berhasil posting satu video dengan narasi cerita tentang EVOLUSI KEBAHAGIAAN. Perjalanan kita mencari Bahagia yang paling sejati

Semoga bermanfaat