Seorang guru pernah mengatakan bahwa orang yang terjebak dalam dosa itu ibarat orang terluka di medan tempur. Sebagai sesama pejuang (dalam kehidupan), kita harus selamatkan mereka yang terluka dan bawa ke medic untuk diobati, supaya mereka bisa bertempur kembali (menjalani kehidupan). Dengan begitu, pandangan kita terhadap pendosa bukanlah pandangan benci, melainkan rasa ingin membantu.
Saya teringat dengan analogi ini, karena melihat seliweran berita di lini masa media sosial, seorang komika terkenal sedang tersandung kasus Narkoba. Biasanya kasus-kasus begini tidak menarik perhatian saya, tetapi yang satu ini membuat saya tertegun karena biasanya kalangan mereka diidentikkan dengan orang-orang yang bahagia, lucu dan seperti tidak bermasalah. Hepi-hepi saja menjalani hidup.
Tetapi nyatanya, dalam balutan tingkah yang lucu dan hepi itu, ada jiwa yang merasa sepi dan kebingungan mencari makna hidup. Saya tengok ini banyak sekali contohnya. Mulai dari lingkungan sekitar kita sendiri. Anak-anak muda yang gamang dengan makna hidup mereka, apalagi dalam kesibukan perkantoran. Sampai artis-artis besar yang seperti selalu hepi dan ceria, tetapi dalam waktu-waktu tertentu semisal talk show yang sangat personal dan dalam; mereka mengakui akan kehampaan diri mereka.
Kehampaan dirinya itu ya tidak harus se-extrim menjadi candu narkoba atau apa, bisa saja terlihat biasa-biasa saja, tetapi dalam dirinya mencari-cari dan bingung sebenarnya saya ini mau kemana ya? Tetapi mereka tidak menemukan ruang untuk bercerita dan tidak menemukan tempat yang menjawab kebingungan-kebingungan itu. Jadilah rasa hampa dan pencarian itu ditutupi dengan rasa bahagia dan balutan hepi yang semu.
Kalau dalam bahasan-bahasan psikologi, kita baca bahwa pencarian makna hidup ini memang sering dialami orang-orang yang hidup seperempat abad. Karena memang masanya mereka mencari-cari arti hidup. Orang bilang hal ini dengan istilah QUARTER LIFE CRIRIS
QUARTER LIFE CRIRIS
Secara sederhana, Quarter life crisis itu adalah krisis identitas, krisis makna, yang dialami oleh orang dengan usia sekitar 20-30an tahun atau atau 30tahun keatas sedikit.. Tidak ada angka pasti, tetapi biasanya anak muda dalam usia segitu sudah mulai bertanya-tanya hal yang mendalam, semisal “saya ini mau ngapain sih?”, “hidup ini ngapain sih?”, “ini saya kerja disini kok kayanya bukan ini yang saya mau?”, “apa iya saya akan menghabiskan sisa waktu saya dengan kerja pergi pagi pulang malam begini terus?” Dan pertanyaan yang semacam itu.
Dan pertanyaan itu memang terlihat filosofis, tetapi penting untuk menjawab kegamangan manusia dalam hidup. Sebagian kalangan menjawab dengan sederhana, bahwa tugas manusia itu untuk beribadah kepada Tuhan. Ya memang betul, tetapi bagi orang-orang yang masuk dalam fase quarter life crisis seperti ini, kegamangan itu tidak bisa dijawab sebatas itu saja. Harus ada penjelasan yang lebih dalam yang membuat mereka mengerti hubungan antara Tuhan dan ciptaan, dan mengerti tentang kehidupan ini dan peranan mereka. Biasanya harus agak mendalam jawabannya dan penjelasannya.
TASAWUF
Saya pribadi di masa Quarter Life Crisis yang saya alami, menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu lewat tasawuf. Tasawuflah yang menawarkan jawaban sangat mendasar tentang pertanyaan-pertanyaan mendalam saat saya mengalami krisis makna itu.
Dengan tasawuflah alhamdulillah saya menjadi menyadari bahwa spritualitas agama tidaklah sama dengan ilmu-ilmu personal development ala barat, pun tidak sama dengan ilmu-ilmu pengembangan diri ala spiritualitas instan yang banyak digemari orang perkotaan. Karena tasawuf mengajarkan mengenal Allah, Awaluddin makrifatullah.
Setenang-tenangnya ketenangan yang dibentuk lewat ilmu-ilmu personal development dan spiritualitas instan semisal mengendalikan fikiran dll masih akan kalah tenang dengan ketenangan yang sebenarnya karena bersandar kepada Tuhan.
Awal-awal saya belajar tasawuf. Memang masih gedebag-gedebug dan kurang apik. Waktu itu anak baru lahir dan saya baru gandrung-gandrungnya ke tasawuf. Pergilah saya mencari kajian-kajian yang bisa mengajarkan saya tasawuf. Mulai dari kajian thoriqoh tertentu, kajian hikam, kajian sholat, kajian yang agak-agak ala jawa. Saya pelajari Demi menjawab kegamangan saya.
Dalam perjalanan itu, saya meninggalkan istri di rumah sendirian sama anak yang masih kecil. Malam-malam. Karena pengen cari kajian. Saya merasa istri saya kok tidak paham pertanyaan yang filosofis. Sedangkan istri saya merasa sebaliknya, saya menjadi aneh karena tidak realistis. Yang realistis bagi istri saya adalah ini ada anak baru lahir, maka temeninlah istri jaga anak malam-malam. Itu dalam pandangan istri saya.
Maka salah paham sering terjadi. Lama terjadi salah paham akhirnya saya mengalah. Saya tidak lagi meninggalkan istri malam-malam dengan anak yang masih kecil. Walhasil saya jadi tidak bisa ikut kajian. Hati saya dongkol waktu itu.
Selang berapa bulan, akhirnya saya sudah menerima dan pasrah. Tapi terjadi hal yang tidak saya kira. Meski tidak menghadiri kajian, alhamdulillah bisa menjadi paham dengan isi kajian kajiannya, dan akhirnya saya mengerti bahwa kita tidak “mencari yang jauh”, kita mencari yang Dekat dan lebih dekat dari urat nadi.
Jadi yang paling fundamen adalah mengenal Tuhan terlebih dahulu. Awaluddin Makrifatullah.
Sayangnya banyak orang-orang yang saya lihat juga gamang dalam mencari makna hidup ini, mereka memulai dari mencari yang jauh.
Tidak ada yang lebih menjawab pertanyaan mengapa semua ini terjadi? Melainkan penjelasan mengenai takdir. Semua sudah tertakdir. Sebagian ulama menjelaskannya dengan penjelasan sifat, bahwa segala yang terjadi adalah menjelaskan mengenai sifat-sifatNya. Akan tetapi ada penjelasan yang lebih mendalam lagi saya temukan lewat seroang guru, bahwa segala sifat-sifat yang kita kenal itu berlaku pada dzat-ciptaanNya, yang mana hakikat segala-galanya adalah dzat-ciptaanNya. Yang bergerak patuh terhadap pre-destination, yang menceritakan tentang DIA, yang semuanya berhikmah.
Setelah mengetahui mengenai hakikat kehidupan ini, baru mengerti bahwa hubungan dengan Tuhan bukan milik orang-orang yang piawai dalam tekstual keagamaan semata. Melainkan milik semua orang, karena af’al Tuhan berlaku dalam kehidupan kita setiap saat.
BERKECIMPUNG DALAM KEHIDUPAN
Saya bertemu salah satu tulisannya Rumi, yang senada dengan bahasan guru kami, yaitu tentang “hidup seperti biasa”.
Kata Rumi, ada dua jalan spiritual. Yaitu jalan seperti Isa alaihissalam dengan menjadi pertapa atau rahib yang tidak menikah. Meninggalkan dunia.
Tetapi ada satu lagi yaitu jalan Muhammad SAW yaitu dengan tidak meninggalkan dunia, tetapi dengan mencebur didalamnya dan mensucikan diri melaluinya. Rasulullah SAW menikah dan mengatakan bahwa menikah adalah separuh agama, karena dengan menikah itulah maka spiritualitas dan kedewasaan seseorang terangkat. Lewat berbagai pernak pernik didalamnya.
Jadi, jangan musuhi orang-orang terdekat kita. Justru lewat merekalah kita menyucikan diri, dan menjadi terangkat spiritualitasnya.
Kita menjadi tahu bahwa didalam diri “mereka” dan kita, ada jiwa yang sama. Sama-sama mencari makna hidup itu. Sama-sama mencari Tuhan.
Dan kita juga jadi paham Rasulullah ada mengatakan hadits bahwa siapa menjenguk orang sakit, maka seperti menjenguk-Nya. Maksudnya adalah di sekitar kita inilah banyak orang-orang yang harus kita “jenguk” jiwanya.
Dan jalan spiritualitas islam itu bukan mengasingkan diri menjadi pertapa, tetapi aktif dalam kehidupan dan berbuat untuk sekeliling kita. Jalan Rasulullah adalah jalan yang itu.
Ada banyak cerita dimana Rasulullah SAW mengatakan pada sahabat untuk meninggalkan kerahiban. Karena jalan spiritualitas beliau Rasulullah adalah mencebur dalam dunia dan mensucikan diri melaluinya.
Jalan kerahiban, itu memang bisa mengangkat spiritualitas seseorang, dan memang ada. Misalnya jejak-jejak agama Ibrahim yang kita lihat dalam sebagian agama timur. Mereka mengangkat spiritualitas dengan menjadi rahib atau pertapa.
Tetapi jalan islam adalah khoirunnas anfauhum linnas. Berpartisipasi aktif dalam kehidupan dengan tidak meninggalkan hidup seperti pertapa. Justru dengan kehidupan inilah kita menemukan pelajaran-pelajaran.
Jalan Rasulullah adalah jalan yang agak lama tetapi lebih selamat.
Jadi cintailah sekeliling kita, orang-orang yang terluka, jiwa-jiwa yang juga mencari-cari jawaban akan pertanyaan-pertanyaan mendalam di batin mereka, dan juga keluarga-keluarga kita, karena lewat merekalah kita menyucikan diri dan terangkat spiritualitasnya. Alhamdulillah.